Holaaaaa
blog fu fu fu mau cerita dooongs J Masak yah gue jadi anak angkot
sepanjang hari Jumat? Lalala yeyeye, gue mulai hafal rato angkot seantero Bogor
nih :D Mau tauuuu kisahnya? Ini dia tulisannya!
Jadi
ceritanya di Jumat yang cerah dan indah gue bersama Bonita, Maya, dan Pandu
memutuskan keliling Bogor buat wawancara TPMC. Singkatnya, kami berempat
janjian di depan Taman Topi, atau bisa disebut juga Plaza Kapten Muslihat (feature menyusul yaaa). Ketiga anak
itu...yah...sedikit ngaret tapi no prob karena sinar mentari memancar hangat
dan cantik di sudut timur hahaha. Terus ada tukang dagang nasi goreng lewat dan
akhirnya gue beli. Enak dan murah, tiga ribu aja. Setelah pas berempat, kami
menuju Taman Ria Ade Irma Suryani (TRAIS).
Ini
pertama kalinya lho gue ke TRAIS. Awalnya suka baca tulisan nama tamannya di
pintu keluar. Jadi hari itu pertama kalinya gue tau gerbang masuk TRAIS :”D
Sedih ya udah bertahun-tahun di Bogor masak ga tau isinya TRAIS kayak apa.
Sebelum beli tiket, Maya minta izin wawancara dulu. Ternyata orang yang bisa
diwawancara, Pak Basyiran, baru ada di tempat sekitar jam 1 siang. Jadilah kami
cuuus dulu ke tempat lain yang jadi tujuan wawancara Bonita.
Sampai
di sana, ternyata biaya masuk (re : tiket) agak mahal. Kebetulan kami mahasiswa
berkantong sedang yang khawatir punya banyak pengeluaran tapi kadang banyak
keinginan huahahaha. Setelah dipikir-pikir belum lagi kalo ke tempat itu
diminta surat kunjungan apalagi uang pasti ga punya. Akhirnya Bonita
mengurungkan niat dan berpindah tempat. Giliran Pandu. Pandu memutuskan
wawancara ke Klenteng Hok Tek Bio yang ada di daerah Surya Kencana. Nah kalo
ini sih gue juga tau J
Walau belum tau dalemnya kayak gimana, hahahahha.
Gue
ga nyesel malah bersyukur bangeeet soalnya bisa ikut tiga anak somplak ini
wawancara. Soalnya gue jadi tau daerah Bogor plus belajar sejarah juga :’D Gue
ikutan tanya-tanya soal sejarah Klenteng Hok Tek Bio. Bahkan diajak keliling ke
dalam, ditawarin makanan vegetarian, dikasi liat foto-foto jadul, ditunjukin
lemari yang ada kertas doanya, sampai diceritain kisah leluhur panjang lebar.
Ini nambah ilmu sekaligus nambah bahan buat nulis J Gue betah di sana tapi karena waktu
yang terbatas dan harus wawancara ke tempat lain jadi kami ga bisa lama-lama.
Terus
Bonita mutusin supaya dia wawancara ke Batu Tulis. Lagi-lagi ini pertama
kalinya gue ke sana. Ini prasasti yang ada tapak kakinya. Yang lucu, selain ada
batu tempat berlutut sang raja dan batu tempat bersandar sang raja, ada batu
yang kata pengurus situs itu sebagai “lingga”. Ada semacam ritual yang biasanya
diberitahukan kepada orang-orang yang datang ke sana untuk meletakkan kakinya
di atas tapak kaki apda batu, bersandar, dan memeluk batu dari belakang. Kemudian
pengunjung diminta berdoa meski katanya jangan berdoa pada batu tapi berdoalah
kepana Tuhan. Namun dari dalam ruangan memang tercium bau samar-samar. Mungkin karena
penciuman gue kurang bagus, entah itu dupa atau kemenyan. Maya seneng banget
kayaknya difoto di prasasti ini, dia minta foto terus. Gue agak geli waktu
Maya, Pandu, Bonita meluk prasasti yang katanya berbentuk “lingga” itu.
Pengurus
prasasti itu udah tua, nenek-nenek, dan dia dibayar pemerintah atas jasanya
tiga bulan sekali. Gue ga kebayang apa itu cukup buat hidupnya. Tapi dia
keliatan senang dan ramah. Gue kagum deh. Ga lama, kami berempat langsung pergi
lagi ke Taman Topi buat ketemu Pak Basyiran. Orangnya belum datang. Yaudah deh
kami tunggu sambil makan yang murah meriah, paket ceban komplit. Lumayan lah
buat ganjel perut. Terus buat cuci mulut *gayak* kami ke tempat serabi. Yang icip-icip
cuma gue sama Bonita sekalia mecahin duit. Eh kok serabinya kurang manis terus
kayak terlalu tebal dan bantat. Pfft agak merasa rugi sih.
Pak
Basyiran pun muncul. Kami berempat naik ke lantai dua kantornya untuk menemani
Maya wawancara. Ada kejadian berkesan yang bikin deg-degan. Seorang ibu
nyelonong masuk marah-marah karena dilarang satpam menempel stiker politik
menyangkut pemilihan kepala daerah yang akan diselenggarakan. Si ibu ini merasa
stikernya tidak menyalahi aturan karena niatnya sebagai sarana berkomunikasi. Nah
lho, bawa-bawa komunikasi segala! Padahal menurut Pak Basyiran, hal-hal berbau
politik dilarang di daerah TRAIS dan Plaza Kapten Muslihat. Dengan kesal si ibu
akhirnya paham. Gue mikir, aneh banget kejadian barusan, di tengah wawancara
kok bisa ada beginian?
Tiga
teman gue udah beres wawancara. Tapi gue belum punya tujuan karena calon
narasumber gue semua berhalangan. Terus kami pergi deh ke daerah Baranangsiang.
Di sana ada Masjid Raya. Waktu mau wawancara, eh pengurusnya udah pulang semua.
Sebetulnya gue males pulang, gue masih pengen main. Tapi teman yang mau gue
datengin kostannya ternyata udah pulang ke rumah. Kemudian Pandu menghasut.
“Kita
karaokean aja.”
Kayaknya
terakhir kali gue karaokean itu SMA. Pertama karena gue ga suka karaoke dan
kedua karena gue sadar kalo suara gue ini jelek. Dengan embel-embel murah, gue
pun setuju. Untuk tiap satu lagu, harganya tiga ribu. Gue pikir ah lumayan
juga, gue ga akan lama-lama kok. Di tempat lain biasanya hitungan karaoker per
jam dengan biaya puluhan ribu rupiah. Gue kurang bisa menikmati karaoke ya
karena sadar suara jelek hehe tapi ternyata karaoke kemarin seru! Pandu, karena
dia pecinta Rihanna, lagu pertama yang dia nyanyikan pun Rihannya. Dia heboh
banget, gue sampe takjub liat semangatnya :D Maya suaranya bagus, seneng
dengernya. Bobon juga hepi banget waktu nyanyi. Jadi tiap anak rata-rata keluar
enam ribu, kecuali gue, cukup satu lagu. Sambil teriak-teriak padahal boks
karaokenya tanpa peredam, kami nyanyi dengan heboh. Tahu-tahu hampir maghrib. Kami
berpisah.
Daaaan
akhirnya pulang! Walaupun gue belum mendapat hasil tapi gue seneng kok. Setidaknya
gue punya pengalaman keliling Bogor ganti angkot berulang kali, ke
tempat-tempat bersejarah, makan murah meriah, ditambah karaokean pula. Ini cukup
buat refreshing apalagi tugas kuliah gue luar biasa banyaknya, fyuuuh! Lain waktu
perlu dicoba lagi nih! J