shutterstock.com |
“Apa
ini?” tanya ibu sembari memandang Pram ketika diuluri sebuah bungkusan.
“Itu
baju buat ibu. Saya sudah lama tidak membelikan ibu baju baru.”
“Kok
warnanya ngejreng? Ibu kan sudah tua,” ujar ibu sambil mengamati baju itu dari
bagian depan dan belakang. Keningnya berkerut.
“Ibu sudah ga pantes pakai yang warna-warna
begini. Motifnya juga terlalu rame. Ini bawahnya kepanjangan ya? Nanti ibu bawa
ke tukang jahit buat dipotong.”
“Tadi
Pram yang beli dan pilih sendiri. Kalau kepanjangan, ibu tandai saja bajunya
mau dipotong seberapa. Besok Pram yang antarkan bajunya ke tukang jahit.”
“Oh ya
kalau ada ibu pengen punya kerudung yang cocok sama baju ini. Ibu mau kerudung
yang seperti dipakai Bu Mul waktu pengajian kemarin. Itu bagus, sederhana,
warnanya kalem, bahannya dingin lagi. Ibu titip ya.”
“Iya bu,
nanti Pram carikan kerudungnya.”
“Terus
kalau bisa beli beberapa warna tapi yang netral jadi bisa gonta-ganti pakainya.”
Lilis menguping
pembicaraan antara suami dan ibunya dari balik pintu kamar yang sedikit
terbuka. Ia geleng-geleng mendengar permintaan ibu. Banyak sekali maunya. Ada saja
keluhannya. Lilis kadang malu kalau ibunya sudah bicara begitu. Ia tak enak
hati pada Pram. Bagaimana pun, suaminya telah berusaha menjadi menantu yang
terbaik. Suaminya masih merintis karir. Tapi Pram tak pernah lupa memberi
ibunya buah tangan demi menyenangkan hati sang mertua.
“Ayah, omongan
ibu jangan diambil hati ya?” ujar Lilis ketika Pram masuk ke kamar. Pram tersenyum
sembari merangkul istrinya.
“Ibumu
itu ibuku juga. Menyenangkan hati orang tua itu berpahala.”
Hati Lilis
meleleh mendengar kata-kata suaminya. Rasa sayang sang suami pada ibunya hampir
melebihi rasa sayang Lilis pada sang ibu. Pram selalu mau mendengar segala
permintaan ibu yang kadang membuat Lilis tak habis pikir. Ibu tahu betul
kondisi keuangan rumah tangga mereka berdua. Tapi ibu tetap saja melancarkan
beragam pinta.
Esoknya,
Lilis mendengar lagi pembicaraan ibu dengan suaminya.
“Pram,
katanya Bu Mul mau naik haji ya?”
“Iya bu.
Habis jual tanah warisanya katanya.”
“Hebat
betul ya dia. Kapan ya ibu naik haji?”
“Insya
Allah, secepatnya ya bu, kalau Pram sudah cukup uangnya untuk menghajikan ibu?”
“Aaah
ibu ga maksa kok. Ibu juga tahu kamu banyak keperluan. Gimana, kamu sudah
carikan sekolah buat Mutia? Sudah cicil beli perlengkapan sekolahnya?”
“Belum
bu. Mungkin minggu depan. Sekalian saya ajak Lilis sama Mutia. Biar anaknya
bisa pilih sendiri.”
“Cari
sekolah itu yang bonafide ya Pram. Mahal dikit gapapa asal berkualitas. Kamu tahu,
si Sulis itu? Sekarang hidupnya sudah makmur. Suaminya kerja di perusahaan
minyak. Anaknya masuk sekolah bagus. Ke sekolah saja ada mobil antar jemputnya.
Jangan mau kalah sama si Sulis.”
Lilis buru-buru
keluar dari kamar dan menyela pembicaraan.
“Sekolah
itu di mana-mana sama saja, bu. Asal anaknya niat dan semangat belajar. Percuma
di sekolah mahal kalau anaknya malas belajar. Yang bikin anak pintar kan bukan
uang bayaran sekolahnya tapi cara belajarnya.”
“Dulu
kamu juga ibu sekolahkan di sekolah nomor satu sekabupaten. Kalau mau menuntut
ilmu itu ya jangan nanggung. Pergaulan itu juga harus diutamakan. Kalau si
Mutia kamu sekolahkan di kampung, ya temannya juga orang kampung.”
“Memangnya
asal kita bukan dari kampung?!”
Pram meremas
tangan Lilis dengan lembut. Senyum Pram menyejukkan hati Lilis dalam sekejap. Diajaknya
Lilis kembali ke dalam kamar. Setelah itu Pram keluar dan bicara dengan lembut
pada ibunya. Pram mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan apa makanan yang
sedang diinginkan ibu. Kemudian Pram pamit keluar untuk membelikan ibu.
Selama beberapa
hari ibu dan Lilis saling tutup mulut. Tiap kali ibu menonton teve di ruang
tengah, Lilis hanya diam di kamar. Bila Lilis di ruang tengah, giliran ibu yang
pindah ke teras. Pram sudah berulang kali membujuk Lilis untuk mengalah. Namun Lilis
semakin menutup mulutnya rapat-rapat dan ikut mendiamkan Pram. Ia malu dengan
sikapnya yang kekanakan tapi rasa kesalnya pada ibu sulit berkurang.
Libur sekolah
pun tiba. Rumah Lilis kebanjiran tamu dari saudara-saudaranya yang ingin
mengunjungi ibu. Untuk sementara Lilis banyak-banyak tersenyum karena tak sampai
hati memasang wajah masam di depan keluarga besarnya. Pertahanannya hampir
jebol waktu ibu memuji-muji Sulis di depan Pram.
“Waaah,
sekarang jadi orang kaya ya kamu? Gimana kabarmu?”
“Baik,
bu. Alhamdulillah. Suamiku lagi nyicil mobil.”
“Pram,
kamu dengar sendiri kan? Sekarang Sulis makmur betul hidupnya. Kamu kapan
nyusul dia? Jangan betah pakai motor bebekmu itu. Coba diganti pakai mobil biar
bisa ajak ibu jalan-jalan. Ya kan, Sulis?”
Pram tersenyum
kecil. Namun dari sorot matanya, Lilis tahu ada kecewa terselip. Laki-laki
paling tidak bisa kalah soal harga diri. Lilis tahu benar Pram seorang pekerja
keras dan sangat bertanggung jawab. Tapi Pram masih merintis karirnya dari
bawah. Banyak tuntutan tentu tidak menyenangkan. Apalagi sampai
dibanding-bandingkan.
“Yang di
luar itu mobilnya siapa?” tunjuk Sulis pada sebuah mobil warna silver.
“Lho,
punya siapa ya?” ibu terlihat heran.
“Itu
mobil saya, bu.”
Lilis menaikkan
sebelah alisnya. Ia pandangi wajah Pram dengan tanda tanya. Pram menggandeng
tangannya keluar untuk mengajak Lilis
melihat mobil mereka dari dekat. Di belakang Pram, Sulis dan ibu mengikuti. Lilis
tidak mampu berkata-kata. Ia senang meski ada yang masih menjadi tanya dalam
pikirannya. Pram tidak berkata apa-apa. Pram tidak sampai hati kalau Lilis
sampai tahu bahwa ia menggadaikan motor dan cincin kawin mereka sebagai uang
muka mobil barunya.