shutterstock.com |
Ini pengalaman di hari pertama saya menginjakkan kaki di
kampus tercinta, IPB.
Waktu itu saya mahasiswi baru di IPB. Teman-teman dekat
saya mendapat jadwal registrasi di hari berbeda. Saya merasa sendirian. Kesepian.
Iya, ada mama yang menemani. Tapi kan mama tidak ikut masuk ke gedung ketika
saya menjalani penyuluhan narkoba atau pemeriksaan darah. Orang tua dan
mahasiswa berada di area terpisah.
Saya orang yang cenderung pemalu dan mudah gugup di
keramaian. Saya cuma diam dan mengikuti apa kata panitia. Mau berkenalan dengan
orang lain rasanya malu. Saya sempat bicara dengan seorang perempuan bertubuh
tinggi besar berkulit coklat. Tapi ada masalah, kandungan protein dalam
darahnya terlalu tinggi (kalau saya tidak salah). Jadi ia terpisah dari
barisan. Ia harus diperiksa lebih lanjut oleh tim kesehatan. Lalu saya sendiri
lagi.
Kemudian saya lupa, ada salah satu persyaratan yang belum
saya lengkapi. Akhirnya saya turun lagi ke lantai bawah. Begitu naik ke lantai
atas, barisan mahasiswa baru sudah berubah. Banyak barisan yang berpencar dan
masuk ke beberapa ruangan untuk mendapat penyuluhan. Dan saya berbaris paling
belakang. Seseorang, iya, seorang cowok yang berada tepat di depan saya menoleh
ke belakang. Dia melihat saya dan tersenyum sopan. “Ladies first,” katanya.
Saya tersipu. Dia orang pertama di lingkungan yang asing
yang memperlakukan saya dengan sopan. Jadi saya mengambil antrian di depannya. Kemudian
kami sama-sama masuk ke dalam sebuah ruangan. Kami duduk berdampingan. Selama penyuluhan
berlangsung, kami mengobrol panjang lebar. Kami malah mengacuhkan pemateri.
Masing-masing anak di ruangan itu diberi formulir. Kami harus
mengisi data diri. Saya curi-curi pandang, berusaha melihat nomor ponselnya. Dia
mungkin juga. Atau saya yang terlalu percaya diri. Tiba-tiba kami disuruh
keluar ruangan. Kami terpisah. Ia berbaris dengan kawan-kawan sejurusannya. Saya
juga. Dia sempat mengatakan sesuatu. Tapi saya tidak paham. Lalu dia
menghilang. Saya merasa kehilangan kesempatan.
Kesempatan?
Entah kenapa saya senang sekali dengan pertemuan itu. Beberapa
bulan kemudian, saya bersua dengannya di grup kampus di sosial media. Kami akrab.
Sebagai sahabat. Eh tidak. Sebagai kakak adik. Dia memperkenalkan saya dengan
pacarnya. Saya memberi tahu dia siapa yang saya suka. Dia cowok yang baik,
sopan, dan membuat saya nyaman. Dia konyol, tapi dia penyayang. Akhirnya saya
tahu rasanya punya kakak laki-laki.
Sedekat apa sih saya sama dia? Saya ini pemalu, jarang bisa dekat cowok. Super sekali saya tidak kaku bisa ngobrol atau bercanda sama si kakak. Kalau nangis saja saya berani mengadu ke dia, minta ditemani segala. Iya, kami jarang ketemu karena beda jurusan. Tapi sekalinya bertemu, hebooooh! Dia dengan bangga bilang ke semua orang kalau saya ini adiknya. Kata orang sih, adik ketemu gede. Saya bisa manja-manja dikit. Banyaknya sih curhat. Dia yang berusaha supaya pacarnya direstui orang tuanya atau saya yang berusaha menjalin hubungan baik dengan yang saya suka.
Lama tidak ketemu, suatu hari dia melihat saya di taman kampus. Ternyata si kakak pamit untuk PKL selama enam bulan di luar Pulau Jawa. Hari itu saya melepas kangen. Saya ngobrol banyak. Ujung-ujungnya curhat. Mau nangis lagi. Tapi kalau sama kakak ada saja hal yang jadi lucu. Segala hal jadi lebih ringan. Kak, makasih ya udah baik bangeeet sama adikmu ini. Miss you kakak :')
giveaway |
soswiitt sekalii...
BalasHapussalam ya buat si kakak :p
Makasih udah share ceritanya..
OK. Tercatat sebagai peserta^^
terus.. terus.. gimana kelanjutannya sekarang..? ;)
BalasHapusorang belum selesai pkl hehe
HapusSukses ngontes nya :)
BalasHapusmakasih XD
Hapus