sumber |
“Ma, jemput ya.”
“Aduh Kilaaa! Mama
kan sibuk. Satu jam lagi mama meeting
lho. Bisa ya, pulang sendiri aja?”
“Yah, ma. Satu kaliii
aja mama jemput Kila. Kan Kila juga jarang-jarang ketemu mama. Temenin Kila
makan ya? Kila mau tunjukin sesuatu ke mama.”
“Dear, kamu kan udah gede. Udah kuliah. Apa
bedanya sih makan sendiri atau sama mama? Tetap kenyang kok. Uang kamu abis? Mau
mama transfer berapa sih? Nikmati aja dulu liburan kamu di sini. Minggu depan
kamu masuk kuliah lho. Kalo udah puas nanti mama temenin deh.”
“Paling mama temenin
ke bandara doang, pas Kila pulang!”
“Mama sayang
Kila. Kita teleponan lagi ya nanti. Dadah sayang.”
Telpon diputus. Kila
melipat tangan. Wajahnya gusar. Padahal ia hanya ingin mencuri, misal, lima
belas menit saja waktu untuk bersama mamanya. Ia hanya butuh teman bicara. Memang
sih, ia puas bermain dengan teman-temannya yang juga sedang berlibur di sini. Tapi
kan tujannya utamanya kemari agar bertemu mama. Seorang perempuan usia empat
puluhan yang super sibuk sejak ditinggal suaminya pergi. Karena kebutuhan
sesuap nasi pula, mamanya sampai harus bekerja di Bali. Sementara Kila seorang
diri selama dua puluh empat jam ditemani hiruk pikuk ibu kota.
Hal inilah yang
sering membuat Kila sedih. Kenapa papa harus cepat pergi? Kenapa mama harus
bekerja di Bali? Kenapa Kila belum juga mandiri? Lalu kenapa Kila cengeng
begini? Berbagai pertanyaan kenapa-mengapa-bagaimana-seandainya menghinggapi
kepala Kila bagai virus yang bermutasi dan terus beregenerasi. Sangat mengganggu!
Kila mengusap
air matanya yang jatuh. Seandainya tadi ia jadi makan siang dengan mama, ia
ingin menunjukkan email bahwa film buatannya masuk nominasi di sebuah festival film
indie bergengsi. Akan menjadi piala tersendiri jika ia bisa melihat senyum
terbit di wajah lelah mamanya.
Lalu, seminggu
berlalu, hingga tiba waktunya Kila kembali ke Jakarta.
“Ma, jemput aku
ya. Mama bisa kan antar aku ke bandara?”
“Aduh, maaf
sayang. Mama lupa. Ada rapat penting. Kalo ke bandara dulu, mama takut ga
keburu. Tempat rapat sama bandaranya ga searah, sayang.”
“Terus Kila
gimana, ma?”
“Mama carikan
taksi ya.”
“Aku maunya
diantar mama. Aku kan anak mama, bukan anak sopir taksi.”
“Kila! Umur berapa
sih kamu? Mama kerja juga demi kamu.”
“Aku ke Bali
juga demi mama.”
Sunyi. Air mata
Kila menitik lagi. Ah, sudahlah. Berangkat sendiri saja. Toh tak ada ruginya. Buat
apa ia memaksakan egonya bila itu hanya membuat pusing mamanya. Mama juga pasti
tak berniat mengecewakannya, kok. Karena cuma Kila yang mama punya.
Kila menutup
telpon lalu mencari taksi. Setelah semua siap, ia berangkat. Sebetulnya ia
mulai hafal jalan-jalan di Bali, tapi kekeraskepalaannya membuatnya
sedikit-sedikit minta ditemani. Sering Kila mengutuk sifat manjanya, tapi isi
kepalanya membela diri. Ia kan, si semata wayang.
Kantuk datang
setiap ia dalam kendaraan. Kila mencoba memutar musik, tapi ia tidak dapat
menikmatinya. Kepalanya terantuk satu dua kali sebelum benar-benar lelap.
“Hei, Kil. Kamu mau
kemana?”
“Aku mau pulang.
Papa kemana aja? Kok baru datang sekarang?”
“Papa mau jemput
kamu, sayang. Ayo kita sama-sama pulang.”
Roda taksi
berdecit akibat direm mendadak. Sebuah cahaya menyilaukan datang. Kila tidur
dengan tenang.
Karya lain bisa di lihat di sini.
Kila pergi dengan papa? hiks...
BalasHapussedih mba. gimana perasaan mamanya abis ini ya.
entahlah :(
Hapusdan mama masih saja sibuk dengan urusannya .... :(
BalasHapusmama belum tahu :(
Hapuskeren.. ada hikmah yg bisa diambil dr cerita ini..
BalasHapuskomentarnya jg keren :D
Hapusmama sekarang bener2 sendiri...
BalasHapuskila tidak lagi merasa sepi....
HapusSedih banget klo jadi si Kila, meski mama sibuk bekerja utk kepentingan keluarga.
BalasHapussemua anak jg sedih mbak kalo ibunya sibuk bangeeet hehe
Hapusidenya bagus..
BalasHapusalhamdulillah kalo gt mbak hehe
HapusSelalu tak tertebak. Cool
BalasHapus{{{}}}
HapusSemoga gak seperti mamanya Kila, walaupun aku bekerja. Hiks :'(
BalasHapusaamiin :))
Hapus