shutterstock.com |
“Kamu mau bilang
apa tadi sayang?”
Fatia menatapku
dengan mata-bulat-bening-tanpa-dosanya. Seluruh kosa kata yang telah kususun
mati-matian demi mengurangi rasa patah hatinya berhamburan keluar dari kepala.
Ah, gagal lagi. Sepasang mata itu selalu membuatku terpaku dan menghilangkan
sisi antagonis dalam diriku. Keduanya meluluhkanku pada detik pertama lalu
membuatku tak berdaya pada detik berikutnya. Kalau tahu bakal begini jadinya,
aku tidak mau jadi pacarnya.
“Kenapa sayang? Kok
diam?”
“Ehh, ngg, tidak
apa-apa. Ayo, habiskan makananmu. Enak kan?”
“Enak sekali,
sayang. Kapan-kapan kita ke sini lagi ya.”
“Iya.”
Kapan terakhir
kali aku memanggilnya dengan ucapan sayang? Ah, sudah lama sekali sampai hilang
dari memori. Atau kapan aku merasa bersemangat ketika merencanakan pertemuan
kami yang berikutnya? Itu juga sudah lama berlalu hingga aku tak memahami
bagaimana munculnya perasaan itu. Sekarang tidak ada lagi rasa yang tersisa. Seakan
hal-hal yang pernah kami lalui bersama turut surut bersama hujan di luar sana.
“Sayang, apa
yang sedang kau pikirkan?”
Aku tidak tahu
apa yang harus kukatakan. Dia bicara terus tanpa bosan. Seakan sumber suara
yang ada di dunia ini cuma dari bibir mungilnya. Panggilan sayangnya begitu mengintimidasi.
Segala bentuk perhatian dan pengertiannya membuatku ingin segara mati. Apakah kebaikannya
itu bawaan lahir atau bukti bahwa ia tidak manusiawi?! Perempuan macam apa yang
telah kupacari?
“Fatia,
berhentilah bicara.”
Sepasang mata-bulat-bening-tanpa-dosanya
menghunjamkan banyak tanya. Tatapan sepasang mata-bulat-bening-tanpa-dosa-itu
membuatku gatal untuk membungkamnya. Tapi, kalau aku menyuruhnya diam, dia akan
tahu bahwa aku bosan. Aku tidak siap menjadi yang jahat. Itu hanya semakin
menegaskan perannya sebagai korban.
Kata orang-orang,
menjadi pacarku adalah sebuah kecelakaan. Fatia yang baik, manis, dan disayang
semua orang justru jatuh hati pada laki-laki yang tak bisa diandalkan. Lelaki yang
diragukan untuk memberinya setangkup kebahagiaan.
Namun Fatia
percaya, bahagia bukan ditemukan dalam diri atau bersama dengan seseorang. Bahagia
itu diciptakan. Maka ia mulai mengupayakan segala cara agar kami tertawa
bersama. Dia menjadi matahari di antara mimpi-mimpi yang tak terjadi. Bahkan dia
mengambil peran sebagai tembok penghalang bagi mulut nyinyir orang-orang. Ia terlalu
senang menjadi martir. Fatia terlampau bahagia bersama orang yang membuatnya
menderita.
“Aku tahu, kau
bosan....”
“Dari mana kau
tahu?”
“Dari caramu
yang enggan berlama-lama menatapku.”
“Aku hanya.....”
“Aku tidak akan
menyerah.”
Hah, kenapa dia
belum juga lelah?
“Aku tahu berat
untukmu menjalani hubungan ini. Terlalu banyak kerikil dalam perjalanan kita. Asal
kau tahu, aku pun merasakan hal yang sama. Tapi aku tidak bisa memberi
kesempatan pada diriku untuk melepasmu. Kalau bukan denganmu, lebih baik aku
ditelan sepi. Aku akan memberimu kesempatan betualang dan mencicipi berbagai
pengalaman tanpaku. Namun ketahuilah, itu hanya akan menegaskan apa artinya aku
bagimu.”
Ponselku bergetar.
Kepalaku menunduk, membaca pesan singkat yang baru masuk.
Sayang, nanti malam jadi kan?
Maaf sayang. Aku sedang banyak urusan.
Tapi kan, kamu sudah janji?
Aku benar-benar tidak bisa, sayang.
Apa kamu tidak bisa meniadakan urusanmu saja? Penting mana,
janjimu atau urusan mendadakmu?
Tidak bisakah kau sedikit lebih dewasa? Jangan membesar-besarkan
hal sepele. Tahan emosimu. Aku kan tidak selalu membatalkan janji denganmu.
Kalau kubiarkan, itu akan jadi kebiasaan! Aku ini manusia, tahu?
Aku berhak mempunyai emosi. Kau pikir aku tak punya hati?
“Bahkan ketika
kita sedang bicara, kau sibuk membiarkan pikiranmu di luar sana. Sebegitu tidak
pentingnyakah kita?” suara Fatia memelas.
Buru-buru
kumasukkan ponsel ke dalam saku. Sudahlah, biarkan saja Aryati dengan
kemarahannya. Nanti juga hilang sendiri. Seperti biasa. Kami bertengkar lalu
salah satu dari kami menyatakan rindu.
Hubungan seperti
itu lebih menyenangkan. Lebih menantang. Seakan kau terus dipaksa, mau bertahan
atau mengakui kekalahan? Seberapa baik kau dalam bertahan untuk memahami orang
lain? Apa kau akan menang dalam menekan titik egomu kemudian memahami orang
yang mendampingimu?
“Apa kau masih
mencintaiku?”
Sepasang mata
itu menuntut jawaban.
Kilasan perjalanan
kami berputar cepat dalam otakku. Seperti adegan flashback dalam film, aku melihat apa saja yang telah kami alami
bersama. Dalam satu cuplikan, aku teringat Fatia yang membanggakanku di depan
semua orang. Ia bilang, pacarnya hebat dan bukan pecemburu. Para gadis mendesah
iri. Mereka mengeluhkan pacar masing-masing yang ketat mengawasi dan jarang
mempercayai. Fatia lupa, sebetulnya aku hanya tidak percaya diri. Aku merasa
tidak cukup baik untuknya. Karena itu aku selalu pasrah tiap kudengar ada yang
mengagumi gadisku. Kupikir, biar saja Fatia memilih sendiri mana yang baik
untuknya. Aku sudah siap bila tidak lagi menjadi labuhan hatinya.
Fatia bilang aku
rela melakukan apa saja untuknya. Sekali lagi ia alpha, itu karena ia tidak
banyak meminta dan aku memberinya hal-hal yang sederhana. Bila hari jadi kami
tiba, aku tidak memberinya kejutan yang berlebih atau hadiah yang melimpah. Aku
terlalu hati-hati dalam mengeluarkan uang dan tak punya banyak waktu memberinya
kesenangan. Aku pernah memberinya hadiah berupa lagu yang kumainkan dengan
gitar. Tahun berikutnya aku memberi tulisan I-LOVE-YOU dari susunan lilin yang
kuletakkan di tengah lapang. Ia selalu berkata, ia suka hal-hal kecil tapi
bermakna.
Mungkin itu hanya
penghiburan semata.
Lain waktu,
Fatia menyukai caraku memperlakukannya. Yang kutahu, aku hanya melakukan yang
kupikir sudah sewajarnya. Tidak ada yang spesial apalagi luar biasa. Hanya menemaninya
di kala sedih, membiarkannya sendirian di kala banyak beban, dan menghampirinya
ketika telah tenang. Kudengar ada gadis yang diajak berlibur ke luar negeri
oleh pacarnya saat merayakan sesuatu atau gadis yang diberi tas mahal ketika
sedang murung. Entah bagaimana bisa Fatia lebih suka dengan hal-hal yang
kulakukan bila itu dilakukan lebih baik oleh lelaki lain.
Terakhir, Fatia
tidak pernah marah bila aku terlambat datang atau melupakan sesuatu. Ia selalu
tersenyum dengan mata berbinar sambil meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja. Seakan
ia tidak pernah bersedih atau kecewa atas apa yang kulakukan. Seakan, untukku,
ia hanya menampilkan keceriaan. Emosi lain berhasil ia buang. Ia menjadi
perempuan paling menyenangkan yang pernah aku kenal.
Aryati
berbanding terbalik. Ia marah atau menuntut bila mau. Ia menungkapkan segala
hal yang menganggunya. Padanya, aku dapat berkaca. Dengannya, aku tahu hitam
dan putih dalam diriku. Bersamanya, aku punya peran yang bisa kumainkan.
“Aku masih
menunggu jawabanmu.”
Sepasang mata
itu masih melihatku dengan lekat. Separuh hatiku telah jatuh ke lain tempat.