shutterstock.com |
Mila menengadahkan kepala dan
menyambutku dengan senyuman. Wajahnya terlihat sedikit lelah meski sinar
matanya tetap cerah. Perutnya yang kian membesar tak bisa tak mencuri
perhatianku tiap mendekat. Refleks aku meletakkan kedua tangan di atas
perutnya, mengecupnya, sambil menutup mata rapat-rapat. Dalam hening jemari
kami akan bertautan. Melalui sentuhan,
kami saling bertukar kasih sayang.
“Sebentar lagi, ya?”
“Iya. Kontraksinya makin sering.”
“Kamu berani kan?”
Mila tertawa geli. “Katamu, dinikahi
saja sudah sangat berani. Berani menikah tanpa mencintai, berani melahirkan
didampingi suami, dan berani melepas mimpi. Aku berani. Karena kamu yang
mengajari. Kalau tidak ada kamu, mungkin aku tidak pernah senekat ini.”
Kurengkuh wajah bulat Mila. Kutatap
kedua matanya lekat-lekat, mencari celah atas hal-hal yang tersembunyi. Namun sepenuhnya
aku yakin Mila telah berkata jujur. Seperti ketika ia berkata bagaimana orang
tuanya tidak merestui kami. Waktu itu aku cuma tertegun karena terlalu sulit
bagiku membayangkan hari-hari tua tanpa Mila. Gadis ini terlalu luar biasa
untuk kubiarkan tidak menjadi bagian dari perjalanku sebelum pulang pada Tuhan.
Kali itu, kami tetap bertahan.
Kemudian Mila yang tak pernah
mengkhianatiku bercerita tentang seorang lelaki yang menodainya. Tak terbayang
bagaimana rasa sakitku melihatnya terluka dan rasa tak berdayaku lengah
melindunginya. Tak dapat kubayangkan Mila yang bisa menangis melihat anjingnya
mati atau cemberut karena ketinggalan film kartun kesayangannya harus menjadi
ibu di usia begitu belia. Sekali lagi, kami masih bertahan.
“Kata papa, aku harus memilih. Melepaskan
janin ini atau membiarkannya hidup dengan syarat telah bersuami.”
Aku hanya mengangguk saat Mila
meminta izinku sembari menangis tersedu. Cinta kami tetap satu. Cinta kami tak
akan bisa dihalangi. Aku bersyukur Tuhan membiarkanku jatuh cinta pada gadis yang
kuat dan tabah seperti Mila. Gadis yang tiap hari kutemui sembunyi-sembunyi. Seorang
yang tak pernah memberikan hatinya untuk orang lain kecuali untukku dan bayinya
nanti.
“Suamimu akan segera datang. Biar dia
yang menemanimu bersalin. Nanti aku akan menjenguk lagi,” ujarku sebelum pergi.
hmm, jadi usia si Mila masih belia, dihamili, ayahnya malah bikin ultimatum : aborsi atau nikah dini. Dengan siapa? Si Pemerkosa? Kok bisa? Kenapa nggak sama 'aku' yang mencintainya? Ah....
BalasHapuskarena bapaknya ga merestui si Mila sama si aku ini mas.. gitu jadi yg dimintai tanggung jawab ya yg berbuat
Hapus