sumber |
Suamiku belum
pulang. Padahal sudah lewat tengah malam. Aku mengantuk setengah mati, tapi
takut tak mendengarnya mengetuk pintu. Lagi pula aku ingin tahu apa ia sudah
makan dan apa yang ia makan. Aku kasihan kalau ia tidak sempat makan masakanku
dalam satu hari. Sejak kecil ia terbiasa dengan masakan rumahan. Baginya, orang
yang suka jajan itu menyedihkan, seperti tidak punya rumah.
Bukan cuma
makannya yang kuperhatikan. Suamiku ini juga sangat bergantung padaku dalam hal
lainnya. Tidur harus memelukku dari belakang, baju untuk bekerja harus
kusiapkan, bahkan membeli kebutuhannya sendiri pun aku yang pilihkan.
Di awal
pernikahan aku sempat bekerja beberapa bulan. Lalu aku ditugaskan ke luar kota
beberapa hari. Baju ganti selama seminggu kutumpuk rapi di salah satu sisi
kasur. Kupesankan katering yang mengantar makanan untuknya tiap hari. Sampai-sampai
pintu kulkas penuh dengan catatan dariku. Seperti aku telah menyiapkan kopi sachet di dalam lemari, sepatunya telah
kucuci, atau pakaian kotor tumpuk saja di keranjang. Namun itu belum cukup.
Waktu aku
pulang, suamiku loyo. Kupaksa ia cerita. Ternyata ia tidak bisa tidur kalau
tidak memelukku. Ia tidak nafsu makan kalau bukan aku yang siapkan.
“Rumah
kayak kuburan. Aku pulang ga ada orang. Kamu jangan pergi lama-lama lagi ya? Biar
aku aja yang kerja. Kalo kamu butuh tambahan uang belanja, biar aku yang usaha.
Atau kamu kerja di rumah. Nulis kek, buka toko online kek, asal di rumah.”
“Kalo
arisan sama pengajian, gimana?”
“Gapapa. Asal
masih bisa pulang.”
“Kamu ini
manja atau kelewat sayang sih sama aku?”
“Aku
kecanduan.”
“Mungkin
rumah ini sepi karena kita belum punya momongan.”
“Bukan
itu masalahnya. Mau ibuku nginep di sini atau adik-adikku numpang beberapa hari
pun bakal sepi kalo ga ada kamu. Kamu kan istriku. Soal momongan, itu terserah
Tuhan. Kita berusaha, Dia yang tentukan.”
Sejak itu
aku semakin sayang pada suamiku. Seluruh waktu kucurahkan untuk mengurusnya. Tak
ada lagi kata bosan apalagi kesepian. Menunggunya pulang selalu menjadi hal
menyenangkan sekarang.
“Kenapa
kamu ga tidur duluan?” tanyanya dengan wajah heran.
“Nanti
siapa yang bukain pintu? Kan di rumah cuma ada aku sama kamu.”
“Aku bisa
ketuk pintu atau telpon kamu.”
“Kamu
lupa aku kalo udah tidur kayak apa? Ada bom atom aja aku masih bisa mimpi.”
“Sudah
malam. Ayo tidur.”
“Kamu sudah
makan belum? Mau aku ceplokin telur? Aku tadi masak bayam, yang makan aku
sendiri. Sekarang pasti basi.”
“Tenang,
aku kenyang. Tidur yuk?”
Aku mengangguk.
Kutunggu ia membersihkan badan. Lalu kubiarkan ia memelukku dari belakang. Sebelum
tidur aku mengucap syukur, betapa lengkap hidupku meski hanya memiliki suamiku
seorang.
Paginya aku
terbangun. Tak seperti biasanya, suamiku tak terbangun ketika kulepaskan
pelukannya dari tubuhku. Apa ia sakit atau kelelahan? Tubuhnya dingin. Wajahnya
damai sekali.
Kuguncang
pelan, ia tetap bergeming. Kupanggil namanya, tapi dia diam saja. Aku menangis
sambil memeluknya. Aku menangis karena ia tidak memberiku kesempatan untuk
memberitahunya bahwa aku juga kecanduan dengan kasih sayangnya.
***
karya lain bisa di lihat di sini
Duh, kok mati sih #nyesek :'(
BalasHapussemua manusia pasti pergi dari dunia.....
Hapus