devianart.com |
Agar tidak menimbulkan suara,
benda-tajam-yang-tak-kutahu-namanya itu kuikat di punggung. Berjalan di kegelapan
malam dengan tubuh tinggi menjulang tentu mudah jadi perhatian. Aku memutuskan
merangkak perlahan mendekati paviliun tempat Pieter bermalam.
Benda tadi kutemukan di gudang. Akan menjadi
alat sempurna untukku meregang nyawa. Sekali tebas, kepalaku bakal lepas.
“Pieter! Sst..... bangun Pieter!”
“Anna? Kau mau apa?”
“Kau ingat kemarin aku akan memberikan
seluruh tabunganku padamu jika kau mau mengabulkan permintaanku?”
“Tapi tabunganmu tidak seberapa. Aku butuh
uang lebih banyak.”
“Terserah kau sajalah, Pieter. Dengar. Ingat
pepatah ‘sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit’?” Terima saja uang dariku
berapapun jumlahnya. Kumohon.”
Pieter mengeryit. Pada keremangan malam
dan sinar bulan yang mengintip dari tirai jendela, matanya menusukku tajam,
membuatku sulit bernapas.
“Apa sih yang kau minta dariku? Apa itu
yang kau ikat di punggungmu?”
Aku berlutut di samping ranjang, melepaskan
ikatan, dan menyerahkan benda itu. Pieter melonjak.
“Kau mau apa?!”
“Tebas kepalaku, Pieter, agar aku tak
mampu lagi memikirkanmu. Tebas kepalaku agar kepalaku berhenti memutar mencari suaramu. Lakukan apa saja yang kau mau asal kau membebaskanku.”
“Kenapa kau meminta ini?”
“Aku tahu mau kau apakan uangmu. Menikahi
putri saudagar kaya itu kan? Perempuan yang kau lihat di ladang musim panas
lalu.”
“Lantas apa hubungannya dengamu?”
“Tidak sadarkah kau aku mencintaimu? Aku
tidak sanggup melihatmu mencintai orang lain.”
Hening merayapi malam yang semakin kelam
dan dingin. Hari menjelang pagi. Pieter menatapku tak percaya seakan ia tak
yakin di depannya manusia atau hantu. Yah, sebagai teman sejak masa sekolah
wajar ia tak menyadari seberapa dalam perasaanku padanya. Mungkin membawakannya
sarapan, membantunya mengerjakan tugas matematika, membantunya membetulkan
sepeda, menemaninya ke ladang tiap panen, atau merawatnya tiap sakit tidak
menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Mungkin baginya tiap orang akan
melakukan hal semacam itu pada temannya. Entah bagaimana caranya menunjukkan
cinta kalau bertahun-tahun kau di sisinya justru membuatnya ingin menikahi
orang lain.
Kau tidak akan pernah tahu bagaimana
cara terbaik membaca hati manusia.
“Jangan memintaku melakukan sesuatu yang
mustahil. Jangan bermain-main dengan benda tajam,” Pieter menarik benda itu dan
meletakkannya perlahan di kolong ranjang. “Kau bukan perempuan bodoh. Kalau
memang benar kau begitu frustasi hingga ingin bunuh diri, coba pikir ulang. Kau
cantik dan baik. Banyak lelaki yang akan menyukaimu nanti. Aku mungkin terlalu
bodoh untuk menyukaimu. Tapi aku cukup pintar untuk tidak mengiyakan
permintaanmu untuk mati.”
Aku ingin berteriak padanya bahwa aku
sudah memilih takdir menjadi bodoh sejak mencintainya. Cinta membuat semua
orang bodoh dan gila. Cinta itu siksa. Cinta itu....
Sekali tebas, kepala Pieter lepas. Tubuhnya
masih meronta, semakin lemah, sebanding dengan hilangnya darah. Dengan begini,
aku bisa berhenti berpikir Pieter akan menikahi perempuan lain. Namun aku tak
bisa membiarkannya pergi seorang diri. Sekali tebas, kepalaku sendiri lepas. Sekarang
kami bisa bersama.
***
Karya lain bisa dilihat di sini.
aaaah.... tewas semua
BalasHapusgapapa biar bersama selamanya #lho
HapusAaaaak! Scary!
BalasHapusmasak? :p
HapusMantap! keren gila. :-)
BalasHapushehe tengkyuuuh!
HapusAaww..diksi dan alurnya oke. Enak ngebacanya..keren. :)
BalasHapusReaksi awal Pieter saat mendengar permintaan aku rasanya terlalu datar. Seolah yang diminta 'aku' adalah hanya sebuah barang.
BalasHapushehehhe makasih komentarnya mas
Hapus