carolina ratri |
Mati lebih mudah. Hidup lebih susah.
Sudah berkali-kali aku mencoba bunuh diri. Tetap saja aku masih di sini. Sibuk
dalam pikiranku sendiri yang sering berkelana pada masa-masa kau masih berada. Bahkan,
pada masa kini, kau merupa menjadi beragam benda. Kadang menjadi sinar mentari
yang menghangatkan dinding-dinding jiwaku ketika ia begitu sepi. Kadang pula
kau hadir sebagai angin sejuk yang menarik-narik anak rambutku hingga berkibar.
Kau hadir dalam cangkir kopi tiap pagi sembari menari bersama alunan
musik kesukaan kita yang mampir tanpa sengaja di telingaku. Kau terlalu....
sempurna. Kau ada dimanapun aku berada. Namun kita terpisah jarak kasat mata antardua dunia.
Pil kesepuluh. Tubuhku makin berpeluh. Kurekam video sebagai kenangan
menjemput kematian.
“Sayang, apa yang kamu lakukan?”
Aku menarik napas dalam-dalam. Jantungku berdegup sangat keras. Pandanganku
berputar. Seharusnya sebentar lagi aku bisa menjawab pertanyaanmu. Tak lama
lagi kita akan bertemu. Namun lidahku masih tercekat. Aku hanya dapat
memaksakan seulas senyum yang lebih mirip ringis kesakitan.
“Sayang, coba buka mulutmu. Aaak. Ayo, bilang ‘aaaa’. Cepat, keluarkan
pil itu. Jangan ditelan.”
“Aku mau sama kamu.” Suara itu
tidak keluar dari mulutku tapi dari kepalaku. Suara itu terdengar jelas,
bening, tidak terdengar seperti seseorang yang menunggu malaikat maut. Aku malu.
Kalimat yang kuucapkan terdengar sangat kekanakan.
“Belum waktunya, sayang. Katanya kamu mau jadi pilot perempuan? Selama ini
kan aku selalu mendukung impian-impian kamu. Sekarang saatnya kamu mewujudkan
mimpi-mimpi itu.”
“Kapan aku bisa lihat kamu?”
“Di hatimu, sayang. Aku selalu ada di sana. Bersemayam dan tinggal untuk
menemanimu. Kamu tidak bakal suka kematian. Di sini gelap. Tidak ada seragam
pilot atau pesawat. Di sini kita tidak bisa bersenang-senang. Ini hanya tempat
persinggahan sementara untuk terlelap. Nanti ketika waktunya tiba, kita akan
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita di dunia. Sekarang bukan saat
yang tepat. Waktu berjalan lambat. Kamu akan bosan.”
“Kamu pergi terlalu cepat.”
“Lihat sisi baiknya. Kamu akan lebih fokus melakukan banyak hal. Mewujudkan
impian, misalnya, karena aku sudah tidak ada.”
Tiba-tiba gelap. Mungkin lampu di kamarku mati. Terdengar suara gaduh
pintu didobrak. Lalu jerit tangis ibu. Kemudian tangan kekar ayah yang
mengangkatku. Aku tak dapat menghitung waktu. Saat terbangun, aku menemukan ibu
yang tertidur dengan mata bengkak sembari terus menggenggam tanganku. Sementara
ayah masih berdiri siaga di dekat pintu, tersenyum tipis lalu menghampiri.
“Kamu baik-baik saja, nak?”
Tetes-tetes cairan dari botol infus mengalir ke dalam selang. Isi kepalaku
masih berputar-putar. Aku lupa caranya berkata-kata. Aku tidak tahu bagaimana
harus bersuara. Kemudian pandanganku gelap lagi. Namun aku dapat menghirup
aroma tubuh ayah dan ibu. Berarti aku masih di dunia.
Setelah sekian hari hanya tertidur dan terbangun untuk menatap botol
infus, ibu membawakanku laptop. Ia berharap aku mengakhiri kebisuan. Sayangnya,
satu-satunya yang ingin kuakhiri hanya kehidupan.
Kejadian tempo hari terekam dalam bentuk video. Aku ingin tahu seperti
apa aku terlihat ketika kematian hampir menjemput. Aku rindu bertarung dengan
maut. Kuklik tombol play.
“Sayang, coba buka mulutmu. Aaak. Ayo,
bilang ‘aaaa’. Cepat, keluarkan pil itu. Jangan ditelan.”
“Ibu dengar suara itu?”
Ibu mengangkat sebelah alis.
Ternyata aku tidak bermimpi. Dia selalu menemani.
***
Karya lain bisa dilihat di sini. Ditulis oleh seseorang yang patah hati #eaaaa. Dua kalimat pertama terinspirasi dari Bella Swan. Bukan film kesukaan, hanya sekedar hiburan.
waduh..... gawat kalau ditemani sama yang nggak kelihatan
BalasHapusminimal, ga kesepian :D
HapusAuww..ending-nya terasa serem sekaligus manis.. :)
BalasHapusserem manis itu gimana deh haha
HapusKeren! :)
BalasHapustirimikisih
Hapus