antaranews.com |
Kuliah di luar kota benar-benar menyita waktu. Saya harus berangkat jam lima pagi bila tidak ingin terjebak macet setengah jam kemudian. Jika saya keluar kelas jam enam sore, hampir bisa dipastikan saya pulang jam delapan malam. Naik bis, kereta, atau mobil pribadi tetap sama lelahnya jika menghadapi kemacetan. Meski naik kereta tidak merasakan macet pun keluar dari stasiun masih harus menaiki kendaraan umum untuk menyambung perjalanan. Macet juga, kan?
Sebetulnya kampus saya yang sekarang cukup ketat untuk mendorong mahasiswanya aktif berkegiatan di luar kelas. Ada banyak unit kegiatan mahasiswa, seminar, kuliah umum, dan beraneka ragam kegiatan lainnya yang menuntut keikutsertaan mahasiswa. Apalagi kampus saya memberlakukan sistem poin. Jika ingin menulis skripsi, tiap mahasiswa harus telah memiliki sekian poin. Poin itu didapatkan dari keikutsertaan dalam kegiatan kampus, menjadi pantia, hingga menghadiri seminar-seminar baik tingkat nasional maupun internasional.
Lucunya-lucu karena ini bukan hal yang biasa buat saya-kampus juga mendukung-dukung saja bila mahasiswanya berdemo dan meneriakkan aspirasi. Karena di kampus yang lama saya tidak merasakan "kepedulian mahasiswa" yang serancak ini. Saya jarang mendengar atau menyaksikan mahasiswa bersemangat turun ke jalan di kampus yang lama. Sementara di kampus ini walau tidak melihat sendiri teman-teman yang berdemo, saya bisa melihat spanduk atau segala macam atribut yang mereka biarkan terhampar di taman kampus. Tulisan-tulisan merah bertuliskan "matinya demokrasi" atau "pilkada langsung harga mati" dan semacam itu pada papan tripleks ukuran beberapa meter bertenger di beberapa sudut taman kampus. Beberapa dosen bahkan mengizinkan mahasiswanya tidak masuk kelas kalau ingin ikut demo. Oh ya, info untuk janjian demo pun riuh disebar di grup-grup chatting kampus.
Ketakjuban saya mendadak hilang melihat beberapa orang yang demo-iya, kampus saya menjadi titik kumpul menolak ruu pilkada tempo hari-membawa kotak sumbangan. Buat apa? Beli nasi kotak? Beli nasi bungkus? #eaaaaaa Saya langsung merasakan antipati. Yaelah demo mah demo aja keles. Kenapa juga kami yang tidak ikut turun ke jalan ini harus menundukung dengan memberi uang? Kalau mereka memang sepenuh hati turun ke jalan, mereka tahu apa risikonya. Ya haus, ya panas, ya bau keringat, ya lapar. Demo juga tidak makan banyak waktu kok kecuali tenaga ketika harus berorasi atau jalan kaki. Demo juga tidak dilakukan berhari-hari hingga uang jajan mereka tidak mencukupi.
Saya masih tidak mengerti kenapa ada orang yang berdemo tapi minta sumbangan. Apalagi orang yang berdemo tapi minta bayaran.
Untuk apa sih berdemo? Menunjukkan kepedulian? Sekedar tidak ikut jam pelajaran? Gaya-gayaan? Saya tidak berdemo bukan karena saya tidak peduli. Saya juga lebih suka memilih sendiri siapa yang mau menduduki kursi. Keikutsertaan saya pada hal-hal yang mengandung kemaslahatan banyak orang mungkin tidak dengan turun ke jalan atau berteriak sampai tenggorokan serak. Ada petisi online kok. Kalaupun Pak Zainal Mochtar dari UGM yang mengisi kuliah umum matkul Anti Korupsi mengatakan "ini bukan zero sum game, lakukan segala yang kamu bisa" maka ini cara saya. Saya tidak berdemo karena saya memilih masuk kuliah. Mungkin kalau demonya tidak bentrok dengan jam kuliah pun saya ikut. Mungkin. Selama saya memahami benar apa yang saya lakukan, bukan karena ikut-ikutan. Saya juga tidak mengharap uang lelah atau bantuan. Dan saya tidak tertarik menjawab ketika orang bertanya, "mahasiswa zaman sekarang ke mana? Kok tidak seperti tahun 98?" Karena bertindak tidak harus dengan hingar-bingar. Ada banyak cara untuk berjuang. Semua boleh saja dilakukan asal sadar dan memahami benar. Kembali ke pribadi masing-masing, mana yang bisa dikerjakan, mana yang tidak menggangu prioritas keseharian, mana yang lebih relevan, mana yang lebih besar kemungkinan didengar.