“Eyang sudah
makan? Sudah diminum obatnya?”
“Hmm.”
“Pakai pampers kan?”
Eyang malah
berceloteh hal lain. Ia mengomentari pemberitaan media yang terus
menyinggung-nyinggung masalah relokasi. Tangannya memencet-mencet remote, mengubah saluran televisi. Namun
di semua saluran beritanya sama saja. Mungkin ia bosan atau tidak tertarik
dengan topiknya.
“Eyang sudah
baca koran baru?”
“Tadi udah tak bolak-balik tapi gelap. Ga keliatan.”
“Aku geser ya
kursinya ke dekat jendela? Jadi lebih terang. Bisa kelihatan tulisan di
korannya.”
“Boleh-boleh.”
Kudorong
kursinya mendekat menghadap jendela. Eyang lalu duduk, mulai membuka-buka
koran.
“Lupa,
kacamataku,” eyang terkekeh-kekeh.
“Nanti aku
ambilkan. Eyang duduk aja.”
Setelah yakin
eyang sudah asyik membaca, kutinggalkan eyang untuk makan siang. Kuhitung-hitung,
tempe yang kugoreng tadi pagi masih utuh. Eyang belum menyentuhnya.
“Kok eyang belum
makan?”
“Nanti ajalah.”
“Bosan ya? Lagi
mau makan apa?”
“Terserahlah.
Apa aja.”
Katanya apa saja
tapi disediakan ini itu pun tak disentuhnya. Kadang aku bingung sendiri
bagaimana mengurus orang tua. Ada banyak sekali kriteria yang harus dipenuhi
kalau soal memilih makanan. Makanan itu tidak boleh keras atau pedas. Makanan itu
juga tidak boleh mengandung susu atau keju. Makanan itu juga bisa berdampingan
dengan nasi. Jadi roti, mie, dan pasta tidak termasuk. Eyang juga tidak suka
buah-buahan yang memiliki bau tajam maupun telur. Satu lagi, eyang mudah bosan.
Tidak ada pilihan yang benar-benar aman. Ia lebih sering tidak nafsu makan. Tidurnya
juga tidak nyenyak karena keinginannya untuk buang air kecil yang bisa mencapai
hingga lima kali tiap malam membuatnya terus terbangun. Susahnya lagi, eyang
sangat tidak suka memakai pampers
sehingga kadang ia ngompol karena
tubuhnya tidak cukup gesit untuk pergi ke toilet.
Aku lebih suka
kalau ia tidak menua.
Kurasa bukan
tulang rapuhnya atau kulit keriputnya yang menakutiku. Tapi fakta bahwa aku
kesulitan memahaminyalah yang menyiksaku.
“Eyang, kalau ngantuk dimatikan saja tevenya.”
“Siapa yang ngantuk?”
“Itu eyang
tidur?”
“Ga kok aku ga tidur.”
“Eyang kan tadi
sudah salat isya. Sudah makan juga. Tidur aja, ga ada yang larang.”
Aku tidak berani
mematikan televisi karena eyang akan cemberut. Serba salah sekali rasanya
mencoba menanggapi secara tepat perilaku orang setua eyang. Kukira hanya
mengasuh bayi saja yang sedikit merepotkan karena tangisannya yang kadang
kusalahartikan.
Aku seringkali
tak tega harus sibuk kuliah di luar kota sehingga jarang bertemu eyang. Aku hanya
punya waktu di libur semester seperti sekarang. Biasanya eyang hanya didampingi
sepupuku yang masih SMA, Abdi juga orangtua Abdi dan seorang asisten rumah
tangga.
Setiap hari,
Abdi pulang mendekati malam. Ia sibuk dengan sekolah dan les-les mata pelajaran
dengan jadwal padat. Di akhir pekan ia lebih banyak tidur di kamar atau bermain
video game berjam-jam. Om dan tanteku
sibuk bekerja. Berangkat pagi pulang malam. Kalaupun sudah di rumah mereka akan
mencari kesempatan beristirahat seperti tenggelam dalam buku-buku atau koleksi
film-film yang terlupakan akibat sibuk bekerja. Asisten rumah tangga itu tidak
bisa dihitung karena dia selalu memiliki sesuatu yang harus dikerjakan.
Pendek kata,
eyang selalu kesepian.
Bahkan saat di
sampingnya pun seringkali aku lupa kalau ia ada. Aku lupa, selama satu semester
kuliah dengan segudang aktivitas benar-benar menyita pikiran dan tenaga. Akhirnya,
di masa liburan seperti saat ini, aku terlalu lelah untuk diajak bicara. Menonton
berita adalah hal yang aku benci karena itulah salah satu yang harus kulakukan
selama masa kuliah agar selalu up to date.
Membaca koran jelas lebih menyiksa otak karena tugas kliping yang harus
dikumpulkan seminggu sekali sudah menimbulkan trauma permanen. Kebanyakan yang
kulakukan adalah kegiatan yang tidak membutuhkan banyak perhatian dan bisa
membantuku lebih rileks menghadapi semester depan.
“Ha? Gimana?”
Aku menatap
eyang sambil tersenyum. Pasti aku tak sadar lagi kalau sedang diajaknya bicara.
Kalau ia sudah mulai bertanya, aku cuma sanggup menyunggingkan senyum. Ia tertawa.
Lalu eyang melanjutkan ceritanya yang karena tak kuikuti sejak awal sehingga
aku tak paham mengenai apa sebetulnya yang tengah dibahas.
Aku merasa ulu
hatiku ditonjok.
Mataku menatap
tembok. Ada banyak foto. Abdi dan om tante. Aku dan almarhum kedua orangtuaku. Aku,
Abdi, dan eyang. Eyang yang selalu ceria merawatku sejak kecil setelah kedua
orangtuaku pergi. Eyang yang menemaniku tiap malam karena beberapa tahun
pertama setelah kecelakaan tragis yang hanya menyisakan aku membuatku mimpi
buruk dan terus memanggil ibu dalam tidurku. Eyang yang menemaniku belajar
hingga aku lulus SNMPTN dan masuk PTN favorit.
Sepertinya selalu
ada eyang untukku.
Tapi, di mana
aku untuk eyang?
Tentu kamu selalu ada di hati Eyang, sebagai cucu tersayang. Meski tidak selalu disampingnya, aku yakin doa - doamu selalu menyertainya :)
BalasHapusIni fiksi lho, aku ga punya eyang :v punyanya mbah sama nenek.
Hapus