Pengalaman Pertama Wawancara Kerja

wawancara kerja (youthmanual.com)
Gambaran saya mengenai wawancara kerja kira-kira seperti gambar ini. Menggunakan baju formal, diwawancara secara formal, dan berada di dalam ruang kerja. Saya sering bertanya kepada teman-teman bagaimana proses mereka hingga mendapatkan suatu pekerjaan. Saya pikir, saya juga akan mengalami hal yang sama. Saya sangat gugup. 

Ternyata saya diwawancara di restoran.

Itu daerah elit, atau mungkin tidak begitu elit, tapi kira-kira tidak membumi seperti kantong saya. Hal pertama yang saya lakukan begitu diberi tahu lokasi restorannya adalah membuka Zomato. Setelah melihat review harga, hal berikutnya yang saya lakukan adalah bertekad untuk tidak membeli apapun kecuali minuman. Saya bingung memikirkan pakaian apa yang cocok dikenakan. Bagaimana agar tidak terlihat salah kostum? Ini semua serba pertama bagi saya. Saya sampai susah tidur dan merasa berdebar berhari-hari.


Sebetulnya saya ingin tampil mature. Sayangnya ibu saya justru mendandani saya agar terlihat cute. Obsesinya bahwa perempuan-yang-menarik-itu-harus-terlihat-awet-muda membuat saya jarang punya pakaian yang cocok untuk acara formal. Kebanyakan baju di lemari saya cocok disebut baju bermain. Saya bahkan punya baju-baju dengan motif yang sepertinya kebanyakan perempuan seusia saya sudah tidak memakainya lagi HAHAHHA.

Akhirnya saya pakai baju yang saya tidak yakin apakah itu cocok atau tidak. Memang bagus, saya suka. Tapi untuk wawancara kerja? Saya tidak yakin.

Lima belas menit sebelum waktu wawancara, saya sudah sampai. Saya bisa lihat si pewawancara sedang duduk dengan segelas minuman dan menghadap laptop. Ia terlihat asyik bekerja. Saya asyik mengatur napas. Rasanya pening sekali. Saya tidak tahu akan bicara apa. Saya tidak tahu harus bersikap bagaimana. Saya mondar-mandir di depan restoran selama hampir lima belas menit. Itu salah satu lima belas menit terlama yang pernah saya rasakan, selain ketika sedang sakit parah atau ketika sedang ujian. 

Akhirnya saya menghampiri beliau. Tipe orang yang sekali lihat, kita akan langsung tahu bahwa dia karismatik dan pintar. Makin guguplah saya. Saya gemetaran dan lupa untuk menyandar di kursi. Tubuh saya condong ke depan dengan kaku. Bahkan menyeruput minum saja rasanya menakutkan. Saya takut tersedak atau memecahkan gelas.

Namun pengalaman ini tidak akan saya lupakan seumur hidup. Pengalaman yang mengesankan. Saya tidak akan menyesal bahkan walau tidak diterima. 

Si pewawancaranya baik sekali. Tidak seperti gambaran yang diceritakan oleh teman-teman bahwa kadang kala pewawancara kerja bersikap tidak minat atau menggunakan kosa kata menyinggung. Pewawancara saya memiliki latar belakang pendidikan yang menakjubkan dengan aksen logat Jawa dan tampilan fisik mirip almarhum paman saya. Sikapnya sangat kebapakan. Saya tiba-tiba rindu paman.

Beliau bertanya bagaimana penguasaan saya terhadap statistik dan aplikasi SPSS. Saya harus jujur bahwa dari skala 1 sampai 10 maka nilai saya adalah 2. Nilai yang sangat rendah bahkan memalukan untuk seseorang yang mengaku menyukai dunia riset seperti saya. Saya sebetulnya tidak kaget ditanya soal SPSS. Tapi bertanyaan berikutnya bikin saya kaget.

"Bisa pakai aplikasi desain?"

Lho, memangnya saya akan dipekerjakan sebagai apa? Bukankah saya akan menjadi peneliti? Kalau hanya untuk membuat poster atau slide untuk presentasi penelitian sih, saya bisa pakai Canva. Saya juga cukup ahli menggunakan Power Point sehingga tampil cantik dan profesional. Tapi saya tidak yakin untuk menyebut Canva jadi saya menjawab CorelDraw dan Adobe Photosop. Lagi-lagi saya ditanya, dari skala 1 sampai 10, seberapa besar kemampuan saya? Kembali saya jujur. Corel hanya 7 dan Photoshop hanya 4.

Saya juga diminta menceritakan kemampuan. Sebetulnya ini bukan hal mengejutkan karena kalau Anda membaca di artikel kumpulan pertanyaan wawancara kerja, maka inilah pertanyaan yang selalu diajukan. Namun ketika mengalaminya sendiri ternyata saya gugup sekali. Bisa dibilang saya sudah sampai tahap panik. Saya yang biasanya percaya diri untuk menyebutkan apa kelebihan saya, menjadi ragu. Akhirnya saya menjelaskan bahwa saya bisa menulis. Saya juga hampir selalu menjadi ketua kelompok meski tidak mengajukan diri. Saya juga menceritakan tugas-tugas kuliah sampai bagimana proses penelitian skripsi dan tesis. Juga menggarisbawahi bahwa saya kualitatif sekali.

Dunia kuliah yang bagi saya sangat indah, membuat saya bersemangat untuk cerita. Ada banyak proyek menarik selama menjalani Program Diploma. Saya pernah bermain peran menjalani beragam posisi. Mulai dari sutradara, produser, penulis naskah, editor, desainer grafis, account executive, penyiar, reporter, kameramen, fotografer, sampai menjadi humas dari BUMN. Saya begitu menyukai perkuliahan karena benar-benar memberi pengalaman yang melimpah. Kalau tidak dicoba sendiri, saya tentu tidak tahu bahwa menyiarkan radio atau mengedit film adalah hal menyenangkan. Meski tidak menjadikan saya ahli dalam segala bidang, saya benar-benar bersyukur atas kesempatan yang diberikan.

Apalagi ketika magang. Saya merasa diapresiasi dan diberi kepercayaan tinggi. Saya tidak akan pernah merasa cukup berterima kasih kepada atasan yang telah memberikan seluruh peluang itu. Saya sangat senang ada orang yang peduli bagaimana rekam jejak saya selama kuliah. Si pewawancara sangat menghargai cerita-cerita saya. Meski tidak memenuhi ekspektasinya sebagai seseorang yang jago berhitung, saya tetap senang dapat memperkenalkan diri dan menceritakan potensi yang saya punya. 

Pertanyaan menarik lainnya adalah bagaimana saya memandang diri lima tahun ke depan. Saya mengakui bahwa saya berambisi tidak hanya sebagai seorang praktisi tetapi juga seorang akademisi. Saya juga ingin sekali melanjutkan pendidikan karena bagi saya kuliah itu menyenangkan. Rutinitas yang saya hadapi setiap hari, meski melelahkan, telah membuat saya mencicipi banyak hal menarik di dunia ini. Kalau tidak kuliah, saya tidak akan bolak-balik pergi ke DPR RI untuk mewawancarai anggota legislatif. Kalau tidak kuliah, saya tidak akan mengikuti seniman di Bekasi dan membuat film tentang budaya. Kalau tidak kuliah, saya juga tidak akan bertemu Faisal atau menyelami bidang gender. 

Everything happen for a reason.

Saya bahagia bisa menampilkan diri saya kemarin. Saya memang belum tahu apakah saya berhasil dan akan mendapatkan pekerjaan tersebut atau tidak. Setidaknya saya sudah mencoba. Sebenarnya saya ingin bekerja di bidang yang sesuai dengan potensi diri. Tentu saja saya juga ingin memiliki penghasilan yang besar agar bisa memberikannya kepada orangtua. Entah apakah pekerjaan kemarin itu akan cocok dengan saya, akan ditakdirkan untuk saya. Setidaknya saya tahu rasanya harapan membumbung tinggi karena ditawari posisi yang tinggi. Setidaknya saya pernah sangat percaya diri, HAHAHAHA. Yang terbaik pasti akan datang, cepat atau lambat.

Oh ya, saya juga baru sadar kalau kemarin terlalu banyak tertawa karena panik dan tidak bisa menjawab. Hah kebiasaan konyol.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama