Pro Kontra RUU PKS: Pro Zina, Pro Aborsi, Hingga Pro LGBT

sumber: goabroad.com
Ada kekhawatiran yang terus menghantui saya di hari-hari sekarang. Bagaimana bila suatu saat nanti saya memiliki anak perempuan? Adakah jaminan hidupnya akan tentram? Akankah ia merasa aman berada di jalan? Saya tidak ingin dia merasakan beratnya hidup sebagai warga negara kelas dua yang ditimpakan kesalahan sedemikian rupa hingga terus dicap sebagai pendosa. Saya tidak ingin putri saya kelak harus disalahkan atas bajunya atau bentuk fisiknya (yang padahal anugrah dari Tuhannya). Dia tidak harus melalui jalan yang saya lalui. Dia tidak harus bersusah hati. Solusi dari persoalan pelik ini adalah pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dicaci, dibenci, dan dilabeli sebagai undang-undang tidak Islami. Dianggap membenarkan perzinahan, aborsi, dan mendukung LGBT.


Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, Tuhan, mengapa saya lahirnya di Indonesia?

Sejak awal rancangan undang-undang ini muncul, saya tahu gaungnya tidaklah besar kecuali di kalangan pejuang kesetaraan gender. Tidak ada yang cukup peduli pada isu perempuan, bahkan dari kaum perempuan sendiri. Walau Yuyun diperkosa oleh 14 anak muda yang membuat vaginanya robek hingga ke anus; atau Baiq Nuril yang dilecehkan, dipecat, hingga dipenjara tidaklah membuat masyarakat membuka mata betapa buruknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Masyarakat masih berpikir "Bukan saya korbannya," sehingga mereka tidak mau peduli atau menunjukkan sedikit saja empati. Kehadiran RUU PKS bukannya justru menjadi sorotan tapi malah terpinggirkan.


Hingga akhirnya justru muncul kelompok masyarakat yang menolak habis-habisan. Ada apa dengan mereka? Ada apa dengan kita? Mengapa kita tidak mampu mengesahkan suatu undang-undang yang tujuannya memberikan rasa aman terhadap setiap warga negara dari kekerasan seksual? Mengapa sebagian dari kita justru menolak tanpa peduli bagaimana perasaan para keluarga korban? 

Korban yang sudah mati tidak dapat hidup lagi. Korban yang sudah dilukai tidak dapat dibikin lupa. Kejadian seperti itu hanya akan berbekas selamanya.

Kenapa Yuyun yang pulang sekolah harus dihajar dan dilempar ke jurang? 

Kenapa Baiq Nuril harus dipisahkan dari anaknya dan pindah ke dalam tahanan?

Kalianpun takkan paham rasanya menjadi orangtua Yuyun yang terpaksa pindah rumah karena diperlakukan tidak ramah oleh keluarga para tersangka yang juga tetangganya sendiri. Kalian juga tidak paham bagaimana rasanya Nuril mengetahui Muslim kini menduduki sebuah jabatan di kantor dinas dan melanjutkan hidup. 

Kalau kita telaah tangkapan layar di atas, kita akan sadar bahwa rancangan undang-undang ini dibuat untuk menjamin rasa aman yang merupakan hak setiap warga negara. Kejahatan seksual bukan hal yang patut disepelekan karena merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Saya tidak paham bagaimana kalimat-kalimat yang begitu sederhana dan mudah dipahami tidak dapat dimengerti oleh sekelompok orang.


Pada pasal 1 ayat 5, korban adalah setiap orang terutama anak dan perempuan. Saya lalu menemukan perdebatan hingga protes dari kelompok masayrakat yang menolak RUU ini karena sorotan terhadap anak dan perempuan. Undang-undang ini dianggap tidak berpihak pada laki-laki. RUU PKS dianggap bersikap tidak adil. Padahal, sorotan terhadap anak dan perempuan dilakukan karena kedua pihak inilah yang umumnya menjadi korban. Tentu saja kita tidak dapat menutup mata dari korban kekerasal seksual yang berjenis kelamin laki-laki. Tapi korban laki-laki berada pada kelompok angka minoritas. Seharusnya hal ini tidak dipermasalahkan dan tidak perlu dibesar-besarkan. Kecuali, ya tentu saja kecuali, mereka terlalu benci sehingga tidak hentinya mencari kesalahan perempuan.

Data menunjukkan korban kekerasan seksual di kelompok usia anak-anak didominasi jenis kelamin lelaki. Dari 122 anak lelaki dan 32 anak perempuan, seluruh pelaku kekerasan adalah laki-laki. Badan Pusat Statistik menemukan bahwa 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik dan atau seksual seumur hidupnya. Mari kita bandingkan data ini dengan data dari negara lain. Sebanyak 1 dari 4 anak perempuan dan 1 dari 6 anak lelaki mengalami kekerasan seksual. Ketika dewasa, jumlah ini memiliki gap yang besar yaitu 1 dari 5 perempuan pernah diperkosa selama hidupnya sementara korban perkosaan laki-laki adalah 1 berbanding 71. Bandingkan dengan data internasional. Sebanyak 35% perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual seumur hidupnya. Apakah masih perlu kita mempertanyakan kenapa pasal di dalam RUU PKS menitikberatkan terutama pada korban yang merupakan anak-anak dan perempuan? Apakah benar perbedaan jumlah kekerasan ini akan dipermasalahkan karena dianggap berlebihan?


Sekarang kita beralih pada pasal lain yang telah dipelintir oleh kelompok masyarakat yang menolak RUU PKS. Pasal 15 merupakan pidana terhadap aborsi paksa. Seseorang tidak boleh memaksa orang lain untuk melakukan aborsi. Tentu saja, kalimat pada pasal 15 sangat mudah dimengerti. Tetapi ternyata masih ada kelompok masyarakat yang "memiliki kreativitas" dengan menganggap argumen kira-kira seperti ini:
Bila RUU PKS melarang aborsi paksa, berarti aborsi yang tidak dipaksa diperbolehkan. Artinya RUU PKS mendukung kegiatan aborsi selama tidak dipaksa.
Apakah kalian tahu seperti apa kasus aborsi paksa itu? Seorang perempuan berusia 15 tahun diperkosa oleh kakak kandungnya. Kelanjutannya mengerikan. Sang ibu yang akhirnya tahu bahwa anak perempuannya diperkosa hingga hamil justru malu dan membuatkan ramuan hingga membantu memijat perut si anak untuk melakukan aborsi. Aborsi ini dilakukan ketika usia kandungan telah menginjak 8 bulan. Sebenarnya ada banyak kasus aborsi paksa bila kita terus memerhatikan berita. Kasus hamil di luar nikah yang mendorong seorang memaksa pasangannya melakukan aborsi bukan sekali dua kali terjadi. Hal ini tentu saja melanggar hukum. Tapi bukan berarti perempuan sebagai si pemilik tubuh diperbolehkan untuk melakukan aborsi. Larangan melakukan aborsi ada pada Undang-undang Kesehatan pasal 75 ayat 1 No. 36 Tahun 2009. RUU PKS menyempurnakannya dengan melarang aborsi yang dilakukan pihak lain (bukan si perempuan) secara paksa.

Berikutnya adalah kesalahpahaman lain pada pasal 16 mengenai perkosaan. Perkosaan dianggap ada karena tidak adanya persetujuan di antara kedua belah pihak. Pasal ini dianggap mendukung persetubuhan yang dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak. 

Kalau RUU PKS melarang persetubuhan tanpa persetujuan, berarti persetubuhan yang didasari atas suka sama suka diperbolehkan. Ini artinya zina dibolehkan.
Padahal konteks RUU PKS adalah kekerasan seksual. RUU PKS tidak mengatur zina. Tidak tepat bila menyimpulkan bahwa RUU PKS mendukung atau membela perzinahan hanya karena melarang persetubuhan tanpa persetujuan kedua belah pihak. Ada pasal dalam undang-undang lain yang mengatur perzinahan. Perbuatan zina dapat dipidana atas laporan dari pasangan sah.

Hoax yang beredar di media sosial dan aplikasi chatting menunjukkan tangkapan layar yang bohong mengenai penyediaan kontrasepsi bagi pelajar dan adanya pengesahan gender ketiga. Pada draft RUU PKS, kata kontrasepsi disebut sebanyak 15 kali. Tidak ada satupun pernyataan yang menyebutkan adanya penyediaan atau pembagian kontrasepsi gratis. Seluruh pernyataan di dalam RUU PKS hanya melarang adanya pemaksaan penggunaan kontrasepsi terhadap anak-anak, kelompok disabilitas, maupun orang dewasa yang dapat berakibat pada guncangan jiwa, kecacatan, hingga kematian. Tidak ada pernyataan untuk menggunakan kondom seperti yang dituduhkan kelompok masyarakat yang menolak RUU PKS.

Kata gender disebut sebanyak 6 kali dalam konteks bahwa kekerasan seksual merupakan bentuk diskriminasi gender; diskriminasi gender berasal dari konstruksi sosial budaya; kekerasan seksual diakibatkan oleh relasi gender; pendamping kekerasan seksual harus memiliki perspektif gender; penyidik, penuntut umum, dan hakim harus memiliki pengetahuan gender; dan petugas yang mengatur ganti rugi terhadap korban kekerasan seksual harus memiliki perspektif gender.


Ada pasal menarik pada paragraf 2 nengenai Hak dan Perlindungan. Aparat penegak hukum tidak boleh merendahkan korban, apapun alasannya. Artinya penegak hukum tidak boleh lagi mengajukan pertanyaan yang bias dan mengandung stigma seperti menanyakan pakaian korban ketika kekerasan seksual terjadi atau mengapa korban berada di lokasi kejadian. Korban juga dapat dilindungi dari kehilangan pekerjaan sehingga seharusnya Baiq Nuril tidak dipecat. Pada paragraf 2 mengenai Alat Bukti, keterangan korban menempati posisi teratas diakui sebagai alat bukti kekerasan seksual. Sehingga aparat penegak hukum tidak lagi dapat berkelit mengenai sulitnya menangani kasus kekerasan seksual bila tidak ada saksi atau barang bukti rekaman CCTV.

Bila kita baca dengan kepala dingin dan sikap penuh empati, maka kita akan menemukan banyak sekali manfaat dari pengesaan RUU PKS. Sayangnya kita memilih untuk menolak tanpa memahami betul isinya. Kita lebih suka mendebatnya di media sosial tanpa memikirkan nasib para korban yang merasa tidak dibela. Seharusnya tidak sulit untuk membaca dan memahami satu persatu poin dari RUU PKS. Kita hanya perlu berhenti membenci perempuan dan tidak lagi menyalahkan korban.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama