Beberapa waktu lalu, Marcella Kikyanto (@querramellca) merilis
serangkaian produk kecantikan hasil kolaborasinya dengan Abduct Cosmetics.
Bersama brand makeup asal Singapura ini, Marcella membuat eye palette, beauty
blender, dan solid cleanser. Marcella semakin dikenal oleh beauty community di
Indonesia sejak ia meraih juara pertama Face Award Indonesia yang diadakan oleh
brand NYX pada tahun 2017. Ia juga berkali-kali mengadakan workshop makeup.
Perkenalannya dengan Abduct Cosmetics terjadi karena
ia beberapa kali melakukan project makeup di Singapura dan merasa kualitas
brand tersebut sangat baik. Ia ingin publik di Indonesia mendapatkan pengalaman
seperti yang ia rasakan ketika menggunakan produk Abduct Cosmetics. 24 jam
kemudian, Marcella mengumumkan hasil kolaborasinya dengan Abduct Cosmetics yang
dijual di Shopee hampir habis.
Sebenarnya kolaborasi yang dilakukan Marcella dengan
Abduct Cosmetics bukan hal baru di beauty community Indoesia. Ada beberapa nama
beauty influencer lain yang diajak berkolaborasi dengan berbagai brand, baik
lokal maupun luar. Salah satu yang kerap mendapat ajakan kolaborasi adalah
Tasya Farasya. Tasya telah berkolaborasi dengan Elshéskin, Mineral Botanica,
hingga Focallure.
Tasya pula yang memiliki andil hingga Focallure
mendapatkan tempat di hati beauty community Indonesia. Sebelumnya brand ini
dianggap brand abal-abal karena berasal dari China sehingga tak banyak yang mau
memakainya. Namun review-review dari Tasya memengaruhi persepsi publik hingga
ia pun diajak berkolaborasi. Walau demikian kolaborasi ini tak surut dari
drama. Sempat ada tudingan Tasya hanya mengaku-aku saja karena website
Focallure tidak memajang foto Tasya.
Ada alasan mengapa banyak brand makeup kini melirik
para beauty influencer untuk diajak berkolaborasi. Tak sekadar biaya yang lebih
terjangkau saja, ada faktor nilai tambah dari para beauty influencer tersebut.
Yaitu pengetahuan dan pengalaman mereka di dunia kecantikan. Bila brand bekerja
sama dengan selebriti ternama misalnya Olens dengan Blackpink atau BTS dengan
Mediheal, mereka perlu mengeluarkan budget lebih besar. Apalagi Olens juga
menggunakan Blackpink sebagai model iklan komersil mereka. Bayangkan berapa
biaya yang dikeluarkan untuk memutar iklan tersebut di media. Biaya ini dapat
ditekan bila modelnya adalah beauty influencer dan brand mengiklankan produknya
di media sosial saja.
Beauty influencer dianggap memahami kondisi pasar.
Sehari-hari mereka berinteraksi dengan konsumen produk-produk kecantikan
melalui media sosial. Mereka tahu apa yang disukai maupun tidak disukai
konsumen. Pengetahuan maupun pengalaman inilah yang tidak dapat ditemukan bila
brand menggandeng selebriti untuk berkolaborasi. Meski beauty influencer
mungkin memiliki fans fanatik yang jumlahnya lebih sedikit dibanding selebriti,
tetapi pengaruh mereka bisa jadi lebih kuat karena interaksi yang intens.
Berbeda dengan selebriti yang memiliki jarak dengan publik, beauty influencer
justru berusaha sedekat mungkin dengan fansnya.
Ada beberapa contoh brand yang meningkat pesat
namanya sejak bekerja sama dengan beauty influencer. Pertama adalah NYX. Brand
ini dianggap sebagai salah satu brand kosmetik berwarna yang pertumbuhannya
paling cepat di Amerika. Lahir pada 1999, brand ini baru memiliki toko pada
2015. NYX bahkan menggandeng beauty influencer untuk ikut membuat konsep toko
offline-nya. Di saat yang sama NYX juga meraih popularitas di Indonesia, bahkan
sebelum brand ini masuk secara resmi. Ketika itu beauty community di Indonesia
harus memesan NYX dari luar negeri dengan harga yang lebih mahal dan menunggu
hingga produknya sampai. NYX secara konsisten merepost hasil makeup para beauty
influencer di Instagram.
Contoh
brand selanjutnya adalah Becca asal Australia yang berdiri sejak 2001. Salah
satu kesuksesan Becca berawal dari kerja samanya dengan Jaclyn Hill, beauty
influencer yang kini merilis brand makeup-nya sendiri. Sama seperti Tasya yang
menyukai Focallure, Jaclyn sangat mencintai produk-produk Becca sehingga kerja
sama mereka terbentuk secara alami. Jaclyn juga bekerja sama dengan berbagai
brand makeup besar lainnya meski kini fokus dengan brand miliknya sendiri.
Terakhir adalah brand Too Faced yang bekerja sama dengan Nikkie Tutorials. Brand ini berhasil membukukan pendapatan hingga 9 juta dolar dari hasil kolaborasitersebut.
Kolaborasi
dianggap sebagai era baru dari bidang periklanan produk kecantikan. Bila dulu
beauty influencer hanya melakukan review atau membuat tutorial makeup
menggunakan berbagai brand, kini merekalah yang membentuk opini publik. Apa
yang mereka pakai atau mereka sukai menjadi sesuatu yang diingankan oleh
publik. NPD sebuah organisasi yang menyediakan data analisisberbagai industri, menyebutkan bahwa di 2016 sebanyak 92% pengguna makeupmengetahui informasi produk kecantikan melalui Youtube. Beauty influencerdianggap bisa dipercaya karena pekerjaan mereka memang melakukan penilaianterhadap produk-produk kecantikan.
Mike Berry,seorang konsultan brand marketing, mengatakan bahwa kerja sama antara branddengan beauty influencer dapat berjalan karena keduanya memiliki nilai yangsama. Kedua belah pihak tidak saling berkompetisi dan justru saling melengkapi
satu sama lain. Ada beberapa manfaat dari kolaborasi seperti berbagi basis
konsumen, cross selling, dan meningkatkan popularitas satu sama lain. Uniknya
lagi kolaborasi tak hanya bisa dilakukan dengan beuaty influencer. Holika
Holika berhasil menarik perhatian beauty community ketika mereka berkolaborasi
dengan Peko, maskot dari perusahaan permen di Jepang. Justru packaging yang
unik dan konsep kolaborasi yang menarik malah membuat produk Holika Holika
digemari publik meski mungkin tak semua akrab dengan maskot Peko.
Patut digarisbawahi bahwa tak semua kolaborasi ini berhasil.
Ada pula beberapa kolaborasi yang justru gagal total. Dari beberapa kolaborasi
yang dilakukan Becca dengan Jaclyn, salah satunya meraih kegagalan. Champagne
Eyeshadow Palette meraih review yang buruk karena formulanya dianggap kering
dan patchy. Review buruk lain diterima Kylie Cosmetics yang berkolaborasi
dengan KKW, brand milik Kim Kardashian. Keempat produk bibir yang dirilis
memiliki range warna terlalu mirip satu sama lain dan dianggap hanya cocok
digunakan oleh kulit putih. Konsumen yang berkulit medium dan gelap pun protes.
Selain kegagalan, ada beberapa isu lain yang
membumbui proyek-proyek kolaborasi ini misalnya adalah pembayaran yang terlalu
murah dan rasisme. Beberapa beauty influencer yang memiliki reputasi
internasional mendapatkan kritikan tajam karena komentar-komentar yang rasis.
Ada yang proyek kerja samanya dibatalkan. Ada pula yang dijauhi oleh brand yang
pernah mengajak kolaborasi. Untungnya hal semacam ini belum terjadi di beauty
community Indonesia. Meski umumnya hasil kolaborasi dengan beauty influencer
Indonesia dianggap bagus, ada sedikit kritikan yang ditujukan kepada produk
kolaborasi Focallure dengan Tasya Farasya. Tetapi review negatif tersebut kalah
jumlah dibanding review positifnya.
Kalaupun ada yang harus sangat dikritisi dari
kolaborasi antara beauty influencer Indonesia dengan brand makeup adalah belum
adanya representasi yang berkulit gelap. Sejauh ini kolaborasi yang dilakukan
oleh brand makeup hanya dengan yang berkulit terang atau medium. Livjunkie,
seorang beauty influencer dari Papua, mengaku sudah seharusnya beauty community
mengangkat isu ini. Meski ia berkulit medium, ia secara konsisten mengkritisi
produk-produk yang tak tersedia untuk konsumen berkulit gelap. Padahal kulit
orang Indonesia memiliki warna yang beragam dan kecantikan yang tak terbatas.
Sudah seharusnya semua warna kulit dapat merasa cantik dan memiliki pilihan
dalam bermakeup.
*seluruh foto bukan milik penulis dan hanya diambil dari tangkapan layar