Gundala (sumber: Screenplay Production dan Legacy Pictures) |
Alkisah Sancaka kecil memiliki kedua orangtua yang meyayanginya. Ayah dan ibu Sancaka memiliki prinsip hidup yang kuat. Inilah yang nantinya memengaruhi cara pandang Gundala terhadap hidup di masa depan. Sang ayah adalah pemimpin demo buruh. Namun ketika sedang menuntut keadilan kepada pemilik pabrik, ayahnya malah dibunuh. Sancaka dan sang ibu pun terpaksa hidup dalam kondisi yang lebih sulit. Akhirnya ibunya pergi ke luar kota untuk bekerja. Sancaka yang lama ditinggalkan sendirian dalam kondisi kelaparan memutuskan untuk keluar dari rumah juga.
Kehidupan yang berat membuat Sancaka harus bertarung dengan anak jalanan lainnya. Ia melakukan kerja serabutan demi mencari nafkah. Tak sengaja Sancaka bertemu dengan Awang. Sancaka lalu diajari bela diri. Pesan Awang tertanam dalam memori Sancaka: ia tak boleh ikut campur urusan orang lain. Sancaka menjadi tidak peduli pada kriminalitas yang ada di sekitarnya. Ia hanya ingin berusaha menjalani hidup sebaik-baiknya.
Gundala (sumber: Screenplay Production dan Legacy Pictures) |
Sancaka dewasa kini bekerja sebagai satpam pabrik. Ia tinggal di rumah susun dan bertetangga dengan Wulan. Wulan dan sang adik sering diteror oleh preman pasar. Sancaka memutuskan untuk tidak lagi diam dan membantu orang kesusahan di sekitarnya. Bantuan awal Sancaka kepada Wulan membuatnya terseret ke dalam konflik pasar. Sancaka menjadi musuh para preman. Ternyata dalangnya adalah seorang musisi (yang juga anak yatim) asuhan dari Pengkor. Tanpa sengaja ketika bertarung musisi itu mati. Inilah yang memantik perselisihan antara Sancaka dengan Pengkor beserta para anak buahnya.
Kita akan melihat Gundala sebagai sebuah film superhero yang dark. Tak hanya karena pemilihan tone warna-warna gelap di sepanjang film tetapi juga pendekatan horor dan klenik di dalamnya. Inilah sentuhan yang tak dimiliki oleh film superhero luar. Gundala berhasil memadukan kedua unsur tersebut. Meski demikian jangan dikira Gundala akan menjadi film super serius. Nyatanya kita akan menemukan beberapa scene dengan dialog menggelitik sebagai sentuhan komedi. Beberapa penonton di media sosial mengaku terkejut dengan adanya scene horor di dalam Gundala.
Sebenarnya scene itu adalah gambaran mimpi buruk Sancaka yang memiliki kehidupan berat. Tetapi Sancaka alias Gundala tidak menyadari bahwa di dalam mimpinya ada gambaran masa depannya. Gundala di masa mendatang akan berhadapan dengan musuh terburuknya, Ki Wilawuk. Ghazul, tangan kanan Pengkor, adalah orang di balik kebangkitan Ki Wilawuk. Scene ini sangat dramatis dan berhasil membangkitkan gairah penonton. Tak hanya karena akting dari Sudjiwo Tedjo tetapi juga kepiawaian Joko Anwar menciptakan vibe klenik di dalam Gundala.
Gundala tak hanya memiliki kesan tempo dulu karena hal berbau klenik di dalamnya tetapi juga memiliki pendekatan kekinian. Kita juga akan diberi gambaran tokoh superhero lain yang naik mobil mewah dan gaun fashionable. Gundala tak luput berusaha menyindir para wakil rakyat dengan menyoroti kondisi politik di masa Sancaka dewasa. Para elit politik ini dihadapkan dengan kenyataan mengenai sabotase yang dilakukan oleh Pengkor. Begitu pula dengan gambaran demo buruh, kriminalitas, hingga isu mengenai moralitas itu sendiri.
Sebenarnya ada sangat banyak hal yang ingin diungkapkan oleh Joko Anwar. Ia pula dengan berani menyelipkan idealisme politiknya ketika salah satu wakil rakyat di dalam Gundala menjelaskan isu moralitas. Joko Anwar adalah salah satu sineas yang pro feminisme. Ia hadir dalam acara-acara feminisme. Begitu pula dengan beberapa pemeran dalam film ini. Sebagian dari mereka tak hanya pernah muncul di film besutan Joko Anwar lainnya tetapi juga memiliki idealisme politik yang sama. Menyelipkan idealisme adalah satu hal, tetapi kesuksesannya adalah hal lain.
Sayangnya, Joko Anwar terlalu banyak menyelipkan muatan politik sehingga Gundala terasa "penuh". Entah apakah penonton benar-benar mampu menyerap pesan sebanyak itu. Gundala sendiri menjadi kehilangan fokus meski Joko Anwar memiliki maksud baik. Tentu ia ingin memengaruhi pandangan publik dan mengedukasi publik mengenai isu-isu tersebut. Tetapi dikhawatirkan publik hanya akan menelan Gundala sebagai hiburan semata tanpa menganggap serius isu-isu yang diangkat Joko Anwar. Memang susah untuk membuat sebuah film yang sempurna apalagi ada begitu banyak pertarungan batin di dalamnya.
Memasukkan isu-isu itu saja sudah patut diacungi jempol. Ada banyak pula karakter yang muncul mengingat Gundala adalah pintu awal dari Jagat Sinema Bumilangit. Di sini kita mungkin protes karena belum hapal nama dari para karakter ini. Mereka akan memiliki porsi lebih besar lagi di masa mendatang. Baik itu karakter antagonis maupun protagonisnya memang menarik. Sayang tak semua mampu berakting cukup baik. Untungnya untuk peran-peran ikonik, Joko Anwar memilih aktor maupun aktris yang kompeten. Pengkor (Bront Palarae), Ghazul (Ario Bayu), Desti Nikita (Asmara Abigail), preman pasar (Donny Alamsyah), dan Ki Wilawuk (Sudjiwo Tedjo) memiliki pesonanya masing-masing. Apalagi tiga nama pertama yang disebutkan tadi mampu membuat suara yang akan terngiang-ngiang di telinga penonton.
Gundala (sumber: Screenplay Production dan Legacy Pictures) |
Jangan lupakan juga dengan Sancaka alias Gundala (Abimana) yang tak hanya keren tetapi juga berwibawa. Abimana tak hanya memiliki popularitas dan kharisma sebagai seorang aktor tetapi juga memiliki kemampuan akting mumpuni. Meski mungkin karakternya sendiri tidak sempurna karena kita masih belum dibikin mabuk cinta, Abimana berhasil menghidupkannya. Ia bisa tampak putus asa, marah, clueless (soal cinta), dan hebat. Beberapa kali kamera mengambil gambar tubuh Abimana yang bagus dan khas superhero. Sebagian penonton mengkritik tubuh Abimana tak cukup bulky untuk ukuran superhero. Tetapi sebenarnya perawakan Abimana sudah pas.
Mengenai sound effect, Joko Anwar juga nampaknya bekerja keras. Di sini kita akan mendengar berbagai jenis soundtrack, salah satunya adalah penggalan dari lagu legendaris di film Pengabdi Setan. Nampaknya syuting di setting rumah susun itu adalah rumah yang sama dengan yang digunakan oleh karakter-karakter di dalam Pengabdi Setan. Rumah susun adalah cara yang pas untuk menggambarkan kehidupan keras di ibukota. Walau akhirnya gambaran rumah susun sendiri menjadi penuh dengan stereotip akibat bagaimana cara sineas kita menyajikannya.
Beberapa adegan pertempuran sendiri terasa kurang klimaks akibat terlalu banyak tokoh di dalamnya. Selain itu sedikit mengherankan adalah banyaknya adegan pertarungan. Hampir tak masuk akal karena ini seperti menonton film Ip Man atau The Raid tetapi dengan sentuhan superhero. Ada begitu banyak adegan baku hantam hingga penonton akan merasa tak diberi jeda untuk bernapas lega. Akhirnya tak semua adegan itu cukup memuaskan visual maupun terekam dengan baik di memori. Beberapa nampak biasa saja.
Efek yang digunakan dalam Gundala juga sudah cukup baik dan tak terasa kacangan. Gambaran kekayaan dan kemiskinan yang timpang diperlihatkan dengan baik oleh Joko Anwar. Abimana pun tampil meyakinkan dari masyarakat golongan bawah yang hidup marjinal. Namun kesuraman yang ditampilkan di layar belum sanggup mengaduk emosi penonton. Tetapi sekali lagi, Gundala punya potensi untuk dicintai. Melihat sambutan publik nampaknya kita akan semakin tak sabar menanti rilisnya film superhero lokal lainnya. Sebagai pembuka Gundala sudah melakukan bagian kerjanya dengan baik.