"Tami, aku takut!" seru Cecil sembari merenggut
ujung piyama Tami. "Hei!" Tami menarik ujung piyamanya dari
cengkeraman jari-jari mungil Cecil. "Apa yang harus kau takutkan? Ada aku,
ada ayah ibumu di lantai bawah. Kau sudah besar, seharusnya kau tidur sendiri.
Masak aku menemanimu? Aku belum mau tidur. Aku ingin makan pudding coklat
nenek." Cecil mencebik. "Jangan, jangan ke dapur. Nanti kau dimarahi
ibuku. Tadi kau sudah menyikat gigi. Kau tidak boleh makan yang manis-manis,
gigimu bisa rusak. Besok saja makan pudding coklatnya. Toh tidak ada orang lain
yang akan menghabiskan pudding coklat nenek selain kita. Ayah dan ibuku tidak
suka rasa coklat."
Tami gusar. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Cecil.
"Dengar, gadis kecil. Jangan melarangku, oke? Tidur sana, aku lebih besar
darimu, aku boleh tidur lebih larut. Aku bisa sikat gigi lagi kalau aku mau.
Lagi pula, sesekali saja, tidak mungkin gigiku langsung rusak." Tami
bangkit dari ranjang. Ia menyingkap selimut dan bergegas memakai sandal bulu
berbentuk kepala kelincinya. "Jangan, jangan pergi, aku belum tidur.
Temani!" rengek Cecil. Hanya kedua bola mata dan alisnya yang nampak. Ia membungkus
tubuhnya dengan selimut. "Kenapa sih kau ini?" Tami mendelik.
Tiba-tiba sebuah ide jahil terlintas di kepala Tami. Ia
berjingkat ke arah lampu. Klik! Lampu dimatikan. "AAAAAAaaaaaaaaaaa!"
Cecil menjerit sekencang-kencangnya karena terkejut. Tami tergelak sampai berguling-guling.
"Dasar anak kecil! Hahahahaha! Baru dimatikan lampu kamarnya saja, sudah
berteriak. Apalagi kalau seluruh lampu di rumah ini mati. Apa kau tidak pernah
mengalami "mati lampu"? Kasihan kau, nak!" Tami kembali menyalakan
lampu. Terlihat, Cecil berlutut di atas ranjang dengan wajah bersimbah peluh
dan tangan gemetar. Suara gaduh terdengar dari tangga yang dinaiki terburu.
Ups! Tami lupa! Suara teriakan Cecil terdengar hingga lantai bawah!
"Ada apa? Kalian bertengkar?" Kepala nenek
menyembul dari balik pintu. Tami tidak bergerak dari tempatnya. Kedua tangannya
mencengkeram kerah piyama keras sekali hingga buku-buku jarinya memutih dan
telapaknya sakit. Ayah dan ibu Cecil juga muncul dari balik pintu. Wajah mereka
nampak khawatir. "Ada apa, Tami?" ibu Cecil bertanya dengan raut
wajah cemas. Tami tidak mampu menjawab. Cecil sendiri terdiam, dengan posisi
tubuh tetap seperti semula.
"Tami, kemari sayang, ayo ikut nenek," ajak
nenek dengan lembut. Ayah dan ibu Cecil berpandangan. "Cecil, mau tidur
sama ayah? Ayah akan membacakan dongeng untukmu," bujuk ayah. Cecil
mengangguk singkat. Setelah merayap turun dari ranjang, ia menghampiri
genggaman tangan ayah. Jatung Tami mencelus. Bagaimana ini? Apa aku akan
dihukum nenek? Ah dasar, Cecil manja!
"Kau mengusili Cecil lagi?" Nenek bertanya. Nenek
mendudukkan Tami di atas kursi makan di dapur. "Iya nek, aku minta maaf,
aku menyesal. Aku tidak mengira dia akan berteriak histeris. Sebenarnya, aku
bermaksud mengenalkannya pada kegelapan kamar. Dia melarangku kemari padahal
aku ingin makan pudding coklat buatan nenek. Cecil itu penakut, dia tidak suka
kutinggal sendirian di kamar. Aku bukan pengasuhnya, nek," keluh Tami
panjang lebar. "Tapi dia saudarimu. Dia membutuhkanmu. Lagi pula, usianya
jauh di bawahmu. Kalian berbeda. Kau dibesarkan dengan disiplin dan kemandirian
oleh orangtuamu. Sementara Cecil? Ia terbiasa ditemani," jelas nenek.
"Jadi?" tanya Tami. "Kau harus minta maaf,
tapi kau juga pantas menerima hukuman," nenek mengedipkan mata. Aih, apa
arti kedipan mata nenek? Kedua alis Tami bertaut. Nenek tidak pernah
memarahinya apalagi menghukumnya. Nenek bisa menghukum? Nenek adalah orang
paling sabar di dunia! Tami mengikuti perkataan nenek. Ia menghampiri Cecil.
"Ssst! Cecil sudah tidur!" ayah Cecil meletakkan jari di depan mulut.
Ayah Cecil baru saja kelaur dari kamar. Terlambat! pekik Tami dalam hati.
"Cepat tidur, besok kau sekolah," ujar ayah Cecil.
"Nek, Cecil sudah tidur! Besok saja ya aku minta
maaf?" rajuk Tami pada nenek. "Wah, bagaimana dengan hukumanmu?"
tanya nenek. "Kau belum tidur, nenek juga belum. Mari kita melaksanakan
hukuman untukmu," ucap nenek. Aku benar-benar dihukum? Dalam benak Tami
tergambar adegan hukuman yang terburuk yang bisa ia pikirkan. Dicubit? Dilarang
menonton televisi? Tidak boleh bermain selama seminggu? Tami bergidik ngeri.
Nenek mengajak Tami ke ruang tamu. Di sana terdapat kotak
sekring listrik. Terdapat beberapa sekring yang diberi label dengan warna
berbeda. Letaknya agak tinggi. Meski Tami tengah mengalami masa pertumbuhan
yang pesat, ia masih kesulitan menjangkau kotak sekring tanpa menaiki kursi.
"Ini kotak sekring. Fungsinya untuk menyalakan atau memutus aliran
listrik. Nah, rumah kita menggunakan listrik prabayar. Kita bisa mengetahui
pemakaian listrik kita setiap harinya selama sebulan. Nenek ingin kau mengecek
sekring ini setiap hari. Kita harus mulai menghemat energi. Karena kau suka
mematikan lampu, nenek percaya kau bisa melakukannya. Bila lusa nanti terjadi
kenaikan biaya pemakaian listrik dalam satu hari dibanding besok, kau harus
memeriksa setiap lampu dan peralatan elektronik di rumah ini. Se-mu-a-nya.
Selain lampu dan alat elektronik, kau tidak boleh melewatkan setiap pengisi daya ponsel maupun travo. Jika tidak sedang digunakan, kau musti memastikan
alat-alat listrik itu tidak tersambung dengan aliran listrik. Tugasmu berlaku
selama satu bulan ke depan. Paham?" Tami mengangguk.
Mulai hari itu, Tami tidak menakuti Cecil lagi. Ia telah
disibukkan dengan pekerjaan barunya, memeriksa listrik! Nenek pun sudah
menasehati Cecil untuk tidak takut dengan kegelapan. Jangan heran, jika kau
melewati rumah mereka, kau akan mendengar teriakan nyaring Tami. "Matikan
lampu! Kita harus menghemat energi!"