Titipan Bayi


skifibnukhaldunumy.blogspot.com

            "Aku yakin, Gani, kau tidak perlu menitipkan Suri padaku. Tidak ada anak yang bisa jauh dari ibunya sendiri. Termasuk Suri. Seburuk apapun keadaanmu sekarang, aku percaya Suri tetap membutuhkanmu. Sesibuk apapun kau, sisihkan sedikit saja waktumu. Demi Suri. Bukannya aku tak mau membantumu. Kau bisa lihat, merawat seorang Suri tidak akan menjadi masalah buatku. Apalagi aku tidak punya anak sebagai tanggung jawabku. Dengan membantumu menjaga Suri tentu aku mendapat kesempatan berperan sebagai seorang ibu. Tapi sekali lagi, Suri butuh kau, bukan aku. Siapa aku sampai Suri ingin berada di dekatku?"

            Gani tidak menjawab. Air mukanya nampak keruh. Aku dapat merasakan keheningan dan ketidaknyamanan yang ia rasakan. "Mbak…" Gani mendongakkan kepala. "Maaf, aku tidak bisa. Tidak bisa, mbak! Maaf!" Gani buru-buru meninggalkan rumahku. Meski kupanggil pun aku tahu Gani tidak akan meralat perbuatannya. Ia meninggalkanku bersama Suri yang berada dalam kereta dorong. Bayi manis itu memandangiku dengan mata polosnya. "Sayang…jangan kau benci ibumu, nak. Dia menyayangimu. Dia cuma belum mampu membesarkanmu." Kuciumi bayi Suri berulang kali.
            Duh, Tuhan, aku belum pernah punya anak. Bagaimana caranya aku dapat membesarkan anak ini? Apalagi dia bukan buah hatiku. Aku lupa menyiapkan jawaban yang akan kuberikan pada orang-orang bila mereka tahu kini aku punya bayi. Dari mana pula aku harus belajar menjadi seorang ibu? Wanita dewasa mandiri yang tidak terikat lembaga pernikahan sepertiku tidak perlu bersiap menjadi ibu. Betapa nekatnya aku pernah berniat menolong Gani.
            "Mbak Laras, kapan melahirkan?" tanya tukang sayur langgananku ketika melihatku menimang Suri pagi-pagi. "Aduh, ini bukan anak saya, ini anak saudara," ujarku sambil tersenyum. "Wah, anaknya cantik mbak. Ibunya pasti juga cantik. Mbak mau belanja?" Aku menggeleng. Meski Suri bukan putriku, tapi aku dapat merasa bangga jika ada yang memujinya. Dia memang bayi yang cantik. Bulu matanya lentik dan bibirnya merah saga. Persis Gani.
            "Halo, ibu? Anu bu, aku sedang mengurus…" belum selesai kalimatku, sudah terpotong suara tangisan Suri. "Lho, Laras, itu tangisan bayi siapa? Bayi tetangga? Kok rasanya dekat sekali dengan telinga ibu?" suara ibu terdengar heboh di seberang telpon. "Anaknya Gani, bu. Sedang dititipkan padaku." Suara ibu terdengar makin keras, "Sejak kapan anak ibu membuka tempat penitipan bayi?" Aku menjauhkan gagang telpon dari telinga sembari ikut berteriak, "Bisa tidak ibu pelankan suara ibu? Gani menitipkan Suri padaku cuma sementara dan tidak dipungut bayaran. Aku cuma membantu Gani, bu. Kasihan dia!"
            Dalam dua hari saja duniaku sudah jauh berubah. Sejak Suri tinggal bersamaku, perjuanganku menjadi ibu baru dimulai. Bukan hanya belajar menenangkan Suri yang menangis. Tapi juga mencoba membungkam bisik-bisik usil yang muali terdengar di seantero komplek. Pandangan dan omongan nyinyir tentang Suri membuat akhir pekanku dipenuhi obat sakit kepala.
            Secepat kubisa, aku belajar tidak peduli. Aku biarkan mereka berucap apa saja tentangku dan Suri. Toh, meski kujelaskan, masih saja ada yang bercuap sok tahu tentangku. Bersama kepercayaan diri yang meningkat, aku membawa Suri kemanapun aku pergi. Ke warung, ke tukang sayur, ke arisan ibu-ibu komplek, ke pengajian tingkat RT, sampai acara makan-makan dengan teman kerja. Aku ingin semua orang terbiasa dengan keadaanku yang sekarang, aku yang bertanggung jawab atas Suri. Beruntung, tak jauh dari kantorku terdapat jasa penitipan anak. Aku bisa menemui Suri setiap jam makan siang.
            "Kalau kemana-mana kau selalu membawa Suri, tidak akan ada lelaki yang berani mendekatimu. Mereka segan dan mengira kau telah menjadi ibu. Padahal kau wanita lajang yang siap membina hubungan. Apa kau tidak keberatan? Suri bukan putrimu dan bukan alasan menundamu menemukan cinta," urai Hani, teman kerjaku. Aku hanya tertawa. Hani melanjutkan kalimatnya, "Hanya kau yang belum menikah di antara kami. Sebentar lagi, anakku yang nomor dua akan lahir. Sampai kapan kau melajang, Laras? Tidak ada yang kurang darimu, kecuali bersuami. Kau beruntung dengan jabatanmu sekarang. Bahkan kau tak perlu memiliki pendamping hidup untuk menjadi seorang ibu."
            "Entahlah, Hani. Bagiku pernikahan tidak menjadi kewajiban. Asal aku menikmati hidup dan ibuku bisa menerima alasan yang kubuat. Aku yakin menjalani hidupku saat ini. Meski tidak bersuami. Seperti katamu, lihatlah aku. Aku sudah punya anak sebelum merasakan hamil dan melahirkan. Betapa kesempatan membesarkan Suri membuatk belajar menjadi ibu sebelum waktunya nanti. Mungkin bukan sekarang. Tapi ketika akhirnya aku bersuami, aku telah siap menjadi ibu karena aku tahu rasanya." Nampaknya Hani menyetujui penjelasanku. Ia menepukku dan berlalu.
            Semua orang mengenalku sebagai perempuan yang belum menikah tapi memiliki bayi. Aku tidak malu dijuluki seperti itu. Aku memang punya bayi dan bayiku bernama Suri. Tak peduli dia bukan anak kandungku apalagi hasil hubungan gelapku. Dia hasil pernikahan sah, sepasang suami istri yang mengakhiri biduk ruma tangganya setelah berjuang selama lima thaun untuk mendapatkan anak.
            Aku merasa sangat pantas menjadi ibu.
            Setidaknya, bila memiliki anak kelak, aku tidak akan menyia-nyiakannya apalagi menitipkannya pada orang lain. Memutuskan bercerai setelah mendapat seorang anak buatku adalah perbuatan sia-sia dan bodoh. Gani mengajariku berkebalikan dengan yang ia lakukan. Ia belajar menghindari kenyataan bahwa pernikahannya hancur dan ia harus membesarkan Suri seorang diri. Aku belajar menghargai apa yang belum menjadi milikku dan berharap suatu saat memilikinya. 
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama