![]() |
http://www.shutterstock.com/pic-84006661/ |
"Ikat,"
ujar Madelin. Tony menurut. Ia memotong tali, menyatukan kedua pergelangan
tangan Madelin dan membuat simpul yang kuat. "Jangan lupa, ikat juga
kakiku," pinta Madelin sembari merapatkan kakinya. Dengan cekatan, Tony
membuat simpul lebih kuat untuk menjaga kedua kaki jenjang Madelin tetap di
tempat. "Nah, sekarang bungkam mulutku dengan syal itu. Lalu kau boleh
pergi." Tony tidak berkata apa-apa. Setelah melaksanakan perintah Madelin,
ia meninggalkan gudang itu. Udara begitu pengap di dalam. Sedari tadi Tony
menahan diri untuk tidak bersin. Debu yang tebalnya beberapa senti bisa
membunuh Madelin dengan mudah, pikirnya sambil menggelengkan kepala.
Madelin
seorang penderita sinusitis. Tony sudah terbiasa mendengar suara bersin atau
orang membuang ingus yang berasal dari Madelin. Kemana pun ia pergi, Madelin
selalu memiliki sekotak tisu. Ingus yang seakan tak henti keluar dari hidungnya
membuatnya malu dan tersiksa. Madelin menjadi sensitif terhadap udara dingin
dan debu. Bahkan saat tengah kelelahan akibat banyak tugas sekolah yang terus
mengalir, Madelin akan mengeluhkan hidungnya. Sinus telah banyak mengganggu
produktivitas gadis ini. Tak hanya kepala dan hidungnya yang ikut sakit,
Madelin merasa matanya semakin sayu.
"Tony, maukah
kau membantuku?" tanya Madelin suatu ketika. "Ya, apa?" Tony
balik bertanya. "Aku bosan. Kegiatanku hanya bersekolah. Rumahku sepi
karena ayah terlalu sibuk. Mari kita buat permainan menarik. Kujamin,
orang-orang akan berdecak kagum. Meski permainan ini berbau tipuan, percayalah,
kau tidak merugikan siapa pun. Kau hanya membuat ayahku sedikit khawatir."
Tony mengangguk-angguk tanda paham. "Kalau begitu, apa yang bisa kulakukan
untukmu?" Madelin menyeringai, "kau pikir, bagaimana caramu
melibatkan diri dalam permainanku?" Tony bersidekap. Ia mengetuk-ngetukkan
kakiknya dengan tidak sabar. Kemudian Madelin membisikinya.
Madelin
mencoba menggoyangkan kaki dan tangannya. Sempurna! Simpul buatan Tony
mengikatnya dengan kuat. Kini ia benar-benar seperti orang yang disekap. Ia tak
dapat menagan tawa dalam hati bahwa
permainannya akan sukses besar. Madelin yakin ayahnya panik mendengar
penyekapan putri semata wayangnya. Kalau selama ini ayah terlalu sibuk bekerja,
sekarang ayah harus mengalihkan
perhatian pada Madelin. Dalam benak Madelin tergambar wajah cemas dan
penuh penyesalan sang ayah akibat kurang memperhatikannya.
Tony menutup
mulutnya dengan saputangan. Ia mulai beraksi. Ia memiliki misi menghubungi ayah
Madelin melalui telpon. Ia telah berlatih mengubah suaranya, membayangnkan diri
laksana penculik. "Halo……" Tidak perlu waktu lama, ia berhasil! Tony
dapat mendengar dengan jelas keriuhan di seberang telpon. Tony berkata ia
menculik Madelin dan sebagai gantinya, ia meminta uang tebusan dalam jumlah besar.
Madelin
memejamkan mata. Lama sekali ayah menyusul, gumamnya. Hidungnya mulai terasa
gatal. Tony, apa kau sudah menelpon ayahku, batin Madelin. Ia berguling-guling
di lantai gudang. Mungkin berguling dapat membunuh waktu. Namun Madelin salah.
Ketika ia mencapai sisi lain gudang, punggungnya mengenai sesuatu yang
membuatnya kesakitan. Paku? Madelin meringis membayangkan paku di punggungnya.
Baik, jadi kapan ayah tiba? Madelin memiringkan tubuhnya, menyadari kehadiran
sebuah cermin di pintu lemari tua yang besar. Ia menghadap punggungnya ke
cermin dan mencoba melongok. Paku payung bodoh menancap di punggungnya.
Di kantor,
ayah Madelin berteriak marah. "Cari putriku, seseorang menculiknya!"
Ia menyuruh semua orang mencari Madelin. "Dia putriku satu-satunya! Ya
Tuhan! Clara, batalkan semua rapat dan pertemuan hari ini. Bila ada yang
mencariku, katakan aku sibuk dan tidak bisa diganggu!"
Tony
menikmati segelas limun dingin di lorong sekitar gudang. Ia mengamati interior
rumah tua tempatnya dan Madelin melaksanakan permainan. Rumah kayu klasik yang
cantik. Sayangnya, bangunan ini kurang terawat. Beberapa panel di dinding
terkelupas dan warna cat pada plafonnya memudar. Sebagian kusen kayunya menjadi
santapan rayap. Iseng, Tony mengorek celah di panel. Tanpa sadar ia menumpahkan
limun yang beli di taman tak jauh dari rumah ini. Limunnya mengenai steker.
Tony mundur
ketika melihat percikan api dari steker. Ia memandangi selama beberapa saat.
Padangannya beralih ke gelas limun yang kosong. Ia bergerak mundur. Wajahnya
panik. Tony berlari tanpa memandang ke belakang. Rumah ini memiliki banyak
lorong dan pintu sehingga Tony semakin panik dan kalap mencari jalan keluar.
Tony terus berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba, lantai kayu yang diinjaknya
runtuh. Tony jatuh ke ruangan di bawah lantai. Namun, langit-langitnya sangat
tinggi dan ia tak mau meraih apa pun sebagai pegangan untuk naik. Tak mau
menyerah, Tony terus menggapai. Kedua tangannya membentuk cakar, berusaha
mencengkeram tepian lantai yang runtuh. Gagal. Aku tidak boleh terjebak. Aku
harus lari! Tony berlari menyusuri lorong di bawah lantai. Kakinya berderap
menjauh, hingga suaranya teredam dan menghilang.
Madelin
mencium bau asap. Segera, hidungnya terasa janggal. Asap dari mana, batinnya.
Sambil meringis kesakitan dan penuh kehati-hatian terhadap punggungnya, ia
berguling menghadap pintu. Matanya tertumbuh pada celah di bawah pintu. Sesuatu
menyala-nyala di luar. Kepulan kecil asap mulai menyusup masuk ke dalam gudang
yang pengap dan berdebu. Madelin menelan ludah. Matanya menjadi semakin sayu.
Sepertinya permainan yang ia lakukan bersama Tony tidak berjalan sesuai
rencana.