![]() |
http://www.shutterstock.com/pic-28759186/ |
Aku
Tembok itu menjulang. Begitu tinggi, begitu kokoh.
Melihatnya saja membuatku merasa terintimidasi. Begitu pula mungkin kau yang
berada di balik tembok itu. Setiap kali aku berusaha mendekatinya, tembok itu
menampakkan kedigdayaan dan keangkuhannya, membuatku mual sebelum menyelesaikan
rencana. Bahkan aku tak kuasa mencoba melangkah di sekitarnya lagi. Tembok itu
benar-benar suram.
Aku tidak perlu mengatakan apapun padamu selain bahwa aku
gagal, baik mendaki atau meruntuhkan tembok itu. Kau pun tahu itu. Rasanya aku
dapat melihat tetesan peluhmu yang membanjir setiap kau mengorek-ngorek tanah
di pinggir tembok itu, berharap dapat membuat terowongan bawah tanah sehingga
bisa menemuiku di sini. Sayangnya, tembok itu dibangun dengan perencaan yang
terlalu matang. Selain tinggi dan tebal, tembok itu cukup dalam menghujam tanah
sampai kau tak mampu menggali lagi.
Aku pun sama. Awalnya, aku meremehkan kekuataan tembok
itu. Kukira, dengan sekali dua kali pukulan martil atau bor atau apalah pasti
dapat membawaku menembus tembok dan menemuimu. Dugaanku sepenuhnya salah. Tanpa
henti kuayunkan martil atau kusorongkan bor. Mata borku justru rusak. Martilku
justru retak. Sampai terengah-engah aku dibuatnya. Namun tak jua dapat
kuputuskan cara tepat menemuimu tanpa terhalang tembok itu.
Dulu, aku tak kuasa menahan diri untuk tidak mengenalmu.
Tanpa sengaja, aku menemukanku, sebongkah batu mulia berlapis lumpur yang telah
mengerak dan mengeluarkan aroma memuakkan. Aku terkejut di balik lumpur yang
hina dan menyedihkan, aku mendapatkan sebongkah batu mulia yang belum diasah.
Permukaanmu yang cacat dan tajam memaku pengamatanku lebih dalam. Semakin
mengejutkan. Aku dapat melihat dengan jelas ada beragam kombinasi warna di
balik permukaanmu yang nampak kusam. Sebuah rongga cukup besar mengisi jauh di
dalam permukaanmu sehingga ketika kuketuk, suara nyaring nan indah keluar.
Aku terpana, baru kali aku berjumpa dengan batu mulia
kaya paduan warna, berongga, berat, dan berkilau tanpa bantuan mentari. Aku
menjadikanmu kepunyaanku yang berharga. Kurawat kau dengan hati-hati.
Kupersiapkan engkau dengan seksama. Dengan rajin dan telaten kuasah kau agar
kilat dan tampak luarmu makin menakjubkan. Sebab aku percaya, kau bisa.
Walaupun dalam waktu tak berhingga lamanya kau di bawah sana―lumpur kerak dan
berbau busuk―kau tetap bercahaya laksana kumpulan bintang di angkasa.
Bangga. Beribu ucapan decak kagum sembari menepuk
punggung kuterima. Aku berhasil menjadikanmu permata. Setiap pasang mata
menoleh, menyaksikan pesonamu yang tiada tara. Kekaguman dan ketakjubanmu itu,
sayangnya hanya sementara. Sebuah perang besar meletus, berkobar, menjadikan
dunia terpecah dalam segmen-segmen yang tak kupahami. Aku benci orang-orang
memanggul senjata. Aku merasa sakit mendengar ledakan granat dan letusan
senapan yang membahana. Tak kusadari, kau luput dari pandangan. Tiba-tiba saja
kau terperangkap di belahan dunia yang berbeda dariku. Di tengah jerit pilu
orang-orang, aku dapat mendengar rintihanmu.
Aku mengerang. Aku gagal menyelamatkanmu. Tanpa
sepengetahuan kita―baik kau maupun aku―sebuah tembok raksasa menjulang,
memisahkan dunia kita. Kau, sendiri, sepi, dalam usahamu kembali ke belahan
duniaku. Aku, menyerang, mengejang, tanpa hasil pasti. Kau, aku, kita, dunia,
sudah tak laik lagi. Bagaimana aku dapat dikatakan layak bagimu jika aku
membiarkanmu terbuang di balik tembok
itu tanpa kutahu cara membebaskanmu?
Kau
Waktu bergulit terlampau cepat. Sampai aku lupa
menghitung mana siang mana malam, mana pekan mana bulan. aku terdampar di
belahan bumi antah berantah yang membuatku terisolasi. Entah ini penjara atau
kandang hewan. Seakan lampu telah lenyap dari peradaban. Aku hanya mengetahui
gelap dan pengap. Kadang, aku dapat merasakan permukaan dinding yang kasar dan
lengket, dilekati semacam lendir tanpa bau. Lantainya seperti menurun dan
mendaki. Meembuatku takut setengah mati, memilih mengkeret di pojokan dengan
kepala terkulai ke dinding yang agak kering. Mataku terbuka lebar, kupelototi
apa-apa yang mampu kutangkap dengan indera penglihatan. Namun aku tak
menemukan, mencerna, atau menangkap apapun.
Entah sekian waktu yang terlampaui, aku telah lupa aku
punya cita-cita. Agar kau bebaskan dari sini. Hingga ingatan itu muncul kembali
ketika kutemukan jariku sibuk mengorek-ngorek tanah. Ya! Aku punya alasan
menyeberang ke bagian lain dunia; menemukan dan menemuimu! Semangatku tumbuh,
keyakinanku kambuh. Aku bergerak cepat tanpa memedulikan lecet hingga tetesan
darah di tangan. Sudah terlalu sering aku mengusap permukaan dinding, sampai
sidik jariku hilang, sampai kulit tanganku menebal. Jadi, aku tidak takut akan
terluka ketika menggali. Meski akhirnya kusadari tanganku menjadi kaku dan
darah kering telah menempel di tempat seharusnya tumbuh kuku.
Aku masih berdaya guna. Tanpa basa-basi kulanjutkan
penggalianku walaupun ada bunyi jari yang patah atau ada tulang yang mencuat
keluar karena terlalu bengkok dan bertabrakan dengan tulang lain di dalam. Aku
tak merasakan suatu kekagetan atau kekhawatiran. Biarlah. Aku harus mampu
menemuimu. Kau pun juga pasti tengah bersiap menyambut kepulanganku. Dapat
kurasakan hembusan nafasmu di dekat ubun-ubunku dan aroma khas tubuhmu yang
membuaiku dahulu. Kau, pengasahku. Kau yang menemukanmu. Nantinya, aku akan
menemukanmu lebih dulu.
Pada penggalian di waktu dan usaha kesekian, lagi-lagi
tanganku membentur tembok. Sialan, setebal dan sedalam apakah tembok ini
ditanam dan dibangun? Aku mendesah panjang. Bahkan semangatku ikut padam. Kedua
tanganku berikut kesepuluh jarinya telah kehilangan bentuk dan rupa. Ada yang
bengkok, ada yang hilang, ada yang patah, ada yang tercerabut. Bentuknya tidak
lagi mirip dengan tangan manusia. Aku tak pantas dijuluki batu mulia.