Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2012

Libur Telah Tibaaaaaaa :D

Gambar
pakaliaja.blogspot.com              Akhirnya libur datang juga! Setelah menjalani satu semester yang menyenangkan bersama teman-teman yang juga menyenangkan, saya harus melambaikan tangan untuk dua bulan ke depan. Masing-masing dari kami akan berpencar dan menikmati masa rehat yang panjang sebelum kembali disibukkan dengan segudang tugas kuliah . Apalagi domisili kami berbeda-beda membuat kami tak punya kesempatan liburan bersama. Oh ya, mereka yang saya maksud adalah Amel , Riri , Fitri , Nidia , dan Dini .

Perempuan Bernama Annisa

Gambar
            Annisa cuma perempuan biasa. Perempuan yang diajari hidup untuk mematuhi. Bahwa hidup sudah ditakdirkan dan selayaknya takdir itu dijalani sebaik-baiknya. Takdir sebagai perempuan yang harus lembut dan anggun. Perempuan itu secanggih apapun sosoknya tetaplah menjadi ibu maupun istri. Dapur adalah tempat kembali. Perempuan diciptakan untuk peka dan perasa. Perempuan yang dipimpin kaum lelaki. Begitulah kira-kira kumpulan opini yang disematkan dalam pikiran Annisa sejak belia. Atau, cuma itulah yang ia pahami benar tentang identitas keperempuanannya.

Nisan-Nisan dalam Doa Kusno

            Di antara bunyi gemuruh petir dan derasnya hujan, Kusno melantunkan doa dengan khidmat. Sesekali ia sesenggukan. Perhatiannya tak lepas dari wajah polos putra semata wayangnya, Fadhil. Permintaanya tidak muluk-muluk. Kusno tidak pernah berharap memiliki sawah lima hektar, rumah gedong, atau mobil mewah. Kusno cuma meminta rezeki yang cukup untuk anak istrinya. Asal bisa makan dan bisa sekolah. Asal tunggakan rumah kontrakan lunas. Asal cicilan baju pada tukang bendring itu juga tidak menghantuinya.

Perempuan Nomor Dua

            Dia muntah-muntah lagi. Bergegas aku menyambar baskom yang selalu kusimpan di bawah ranjang tuanya. "Hoek! Hoek!" Di sela-sela muntah, ia mengerang. Mungkin tenggorokannya sakit. Ia pernah bilang, setiap kali muntah, ia merasa tenggorokannya terbakar. Kuelus-elus punggungnya demi memberi dukungan. Ia menepis tangaku. Masih saja perempuan ini bersikap angkuh seakan tak membutuhkanku. "Hoek!" Kali ini muntahannya bercampur darah. Aku menatapnya dengan khawatir. Namun ia menarik dengan kasar lap yang kubawa. Setelah membersihkan mulutnya, ia kembali membujurkan badan dengan kaku. Bahasa tubuhnya menunjukkan ia menolak berinteraksi lebih jauh denganku. Tidak dengan tatapan, pembicaraan, atau sentuhan.

no title

Gambar
erywijaya.wordpress.com             Terbengong-bengong kumendengar ceritanya. Mengajukan beasiswa ke Jepang? Akan berangkat meninggalkan Indonesia tiga bulan lagi? Meninggalkanku? Seluruh pertanyaan itu berkecamuk. Berputar-putar dalam kepalaku dan menyesakkan dadaku. "Kau serius?" tanyaku. Kau tersenyum sembari mengangguk takzim. "Bagaimana? Kau mendukungku tidak?" tanyamu dengan bersemangat. "Kau tahu aku temanmu. Aku ikut senang bila kau senang. Aku pasti mendukungmu. Aku pendukung terbaikmu! Keberhasilanmu adalah rasa syukurku." Medengar jawabanku, senyummu makin lebar. "Terima kasih, Anna," katamu sebelum membiarkanku tertegun dengan ucapanku sendiri.