Annisa cuma perempuan biasa. Perempuan yang diajari hidup
untuk mematuhi. Bahwa hidup sudah ditakdirkan dan selayaknya takdir itu
dijalani sebaik-baiknya. Takdir sebagai perempuan yang harus lembut dan anggun.
Perempuan itu secanggih apapun sosoknya tetaplah menjadi ibu maupun istri.
Dapur adalah tempat kembali. Perempuan diciptakan untuk peka dan perasa.
Perempuan yang dipimpin kaum lelaki. Begitulah kira-kira kumpulan opini yang disematkan
dalam pikiran Annisa sejak belia. Atau, cuma itulah yang ia pahami benar
tentang identitas keperempuanannya.
"Perempuan itu tidak pantas membantah. Sebagai
perempuan, kamu harus mendengarkan dan mematuhi apa kata ibumu. Dia lebih tua
dibanding kamu, lebih berpengalaman. Ibumu sudah hafal lika-liku jalannya
hidup. Kenyang makan asam garam kehidupan. Jadi jangan khawatir sama
petuah-petuah dari ibumu. Pasti yang dia katakan pada kamu adalah hal benar.
Makanya belajar nurut. Kalau sudah terbiasa nurut, kamu akan lebih mudah
memahami nasehat ibu," jelas ayah panjang lebar di suatu sore yang panas
dan menyemprot sinarnya. Annisa mengangguk tanda paham. Dipikirnya, benar juga
kata ayah. Buat apa mengeluhkan ibunya yang terus berkomentar pada
pekerjaannya. Niat ibu baik, gumam Annisa.
Sebenarnya, tidak mudah bagi Annisa merelakan dirinya
mengikuti apa kata orang. Annisa kecil tumbuh menjadi perempuan keras kepala
yang tidak suka diperintah.
Pupuk kemandirian memacunya sejak kecil agar siap mengambil keputusan dan membenahi diri tiap waktu. Annisa bukan ditakdirkan menjadi perempuan cengeng. Kesusahan hidup menempanya menjadi tangguh.
Pupuk kemandirian memacunya sejak kecil agar siap mengambil keputusan dan membenahi diri tiap waktu. Annisa bukan ditakdirkan menjadi perempuan cengeng. Kesusahan hidup menempanya menjadi tangguh.
Ketika ayah dan ibunya bercerai, Annisa terpaksa tinggal
bersama eyang putri. Kekecewaan ditinggal ayah ibu yang sibuk berebut harta
gono-gini dan saling menyalahkan atas nama kegagalan perkawinan membuatnya
frustasi. Annisa terlalu muda-belia untuk memahami seluk beluk pertengkaran
orang dewasa. Bagaimana ia mencerna masing-masing dari ayah ibunya saling main
mata? Ternyata ayah dan ibu sudah punya pasangan masing-masing. Enam bulan
berikutnya, perebutan kuasa atas Annisa dimulai. Ketika ayah dan ibunya
menikahi pasangan mereka, Annisa dituntut tinggal bersama salah seorang di
antara kedua orang tuanya. Bagaimana cara Annisa memilih tanpa menyakiti hati
salah satu? Bagaimana cara Annisa memilih jika cintanya bukan cuma satu?
Hatinya dipaksa belah dua.
Annisa berkeras, "aku tinggal bersama eyang."
Ibu memohon-mohon, "kamu masih di bawah umur. Hak asuhmu pada ibu."
Peduli apa Annisa tentang hak asuh? Dia hanya peduli kedua orang tuanya tetap
membayarkan uang sekolahnya. Annisa lebih peduli pada kesehatan eyang putri
yang menurun akibat usia tua renta. "Ibu dan ayah bisa berbagi waktu
menjagamu. Kamu akan digilir. Setiap tiga hari kamu berganti pengasuh. Pertama
ayah, selanjutnya ibu. Tiga hari di rumah ayah, tiga hari di rumah ibu. Mau
kan?" rajuk ayah. Aku seperti barang, pikir Annisa sedih. Dia bukan
pajangan. Annisa anak semata wayang.
Tapi bukan orang tua namanya jika membiarkan Annisa
memutuskan. Ujung-ujungnya, pengasuhan terhadap Annisa digilir. Padahal Annisa
tidak enak hati. Wajah ibu tirinya merengut tajam setiap ayah mengantar Annisa
pulang ke rumah ibu. Suami ibu bersikap angkuh setiap melihat Annisa datang.
Betapa repot Annisa dibuatnya. Mana nyaman dengan keadaan begini?
"Kamu perempuan. Kamu butuh ibu. Ibu akan
mempersiapkanmu menjadi calon ibu sekaligus istri yang bisa dibanggakan
suami," sabda ibu suatu ketika. Annisa mengernyit. Seberapa menakutkannya
sebuah pernikahan? Lebih menakutkan mana dibanding menghadapi perceraian?
Sementara ayah ibunya nampak santai di depan mata. Membuat Annisa curiga,
benarkah setegar itu?
Perempuan tidak cuma butuh ibu. Perempuan butuh lelaki.
Meski sekedar menjadi kawan reproduksi. Tapi ajaran ibu yang seperti apa yang
akan membuat Annisa mampu? Menjadi ibu sekaligus istri. Dalam pandangan Annisa,
ibu menggarisbawahi dan menebalkan besar-besar satu kata kunci, nurut. Menuruti
kata ibu. Nurut sama ibu. Pokoknya yang ibu bilang pasti benar. Soalnya
kata-kata ibu punya tujuan baik. Ingat, ibu kenyang makan asam garam, sehingga
ibu punya tujuan. Mulai dari mengajari Annisa kapan waktu tepat tersenyum atau
menundukkan kepala terutama menghadpai lawan jenis. Dan ibu sangat disiplin
tentang ini.
"Annisa, jangan ikut bicara," adalah salah satu
dari sekian arti lirikan ekor mata ibu bila diterjemahkan dalam kata-kata.
Annisa hafal betul arti tiap lirikan ibu. Ibu kurang suka Annisa yang cerewet
dan tidak henti berkicau. Ibu lebih suka Annisa yang diam dan tenang. Padahal
itu bukan Annisa. Annisa adalah perempuan, sosok yang penuh semangat dan ringan
dalam berceloteh. Annisa tidak cocok duduk diam dan menjadi pendengar pasif
dalam suatu pembicaraan. Annisa ingin terlibat. Namun apa daya, mata ibu
melarangnya.
"Annisa, perempuan yang sempurna adalah perempuan
yang memakai rok." Mungkin ibu bercanda. Perempuan seperti Annisa, yang
lincahnya tidak ketulungan, dipinta
berjalan seperti putri keraton dalam balutan rok-rok panjang. Annisa yang suka
berlari dan meloncat harus berjalan pelan-pelan. Aduh, itu bukan Annisa dan
tidak pernah menjadi Annisa! Namun ibu berkeras. "Ingat Annisa, perempuan
itu harus.." ibu belum selesai berkata ketika Annisa menyahut dari balik
pintu sembari berteriak, "nuruuuut!" yang panjang. Sejak itu, Annisa
punya gaya jalan baru. Mengangkat rok tinggi-tinggi agar tidak menghalangi.
Gerakannya tetap lincah meski dihalangi.
"Annisa, perempuan harus pandai merawat diri. Rambut
boleh aroma bawang, baju boleh aroma ikan, tapi dandan tetap yang utama."
Kadang Annisa tak habis pikir. Mengapa sempat memikirkan dandan kalau pekerjaan
di dapur saja banyak. Annisa yang tidak suka dibikin repot lebih senang
menggelung rambutnya yang panjang. Kulit wajahnya bebas dari polesan. Annisa
tidak suka penampilan macam-macam. Baginya, penampilan makanan yang disajikan
di piring olehnya harus membuat orang yang menikmati merasa puas dengan
tampilan. Makanan tak sekedar enak di mulut atau kenyang di perut. Makanan juga
butuh estetika.
Annisa membuat cita-cita. Kapan lagi bisa bebas dari
aturan-aturan ibu? Kesempatan Annisa muncul juga. Kecerdasan menjadi berkah
dalam hari-hari kita, begitu pun ia. "Kalau aku menikah nanti, lepaslah tanggung
jawab ibu. Semakin cepat aku menikah, semakin mudah aku meraih
rencana-rencana." Menikah muda adalah pilihan Annisa. Ia takut kalau tidak
segera menikah, ibu semakin menekannya. Ibu kurang mendukung pekerjaan Annisa.
Malah, ibu ingin Annisa di rumah saja. Menunggu lamaran orang dengan berpangku
tangan. Tanpa sumber penghasilan apalagi ilmu yang diamalkan. Rencana ibu
sungguh menyiksa kepala, memaksa Annisa merasa pusing. Apa guna pendidikan
kalau hasilnya tidak dinikmati?
Annisa ngotot mencari calon suami. Ia tidak keberatan
didatangi. Pintunya dibuka lebar dan menampakkan rumahnya yang berantakan. Kini
Annisa memberi kesempatan bagi siapa saja yang ingin berdekatan. Dasar
perempuan manis, tentu mudah bagi Annisa memikat lelaki. Ia melupakan ajaran
ibu yang memintanya menjaga pandangan apalagi kata-kata yang dilontarkan. Annisa
tidak melaksanakannya.
"Pilih suami tidak boleh asal tunjuk. Lihat dulu
bibit, bebet bobotnya. Siapa dia, dari mana asalnya. Asal mapan, ibu
setuju." Namun Annisa terlanjur yakin. Tak usah repot-repot memeriksa
identitas calon suami. Baginya, menikah menjadi tujuan sekaligus impian. Ketika
tombol ditekan, lenyap masa kekanakan. Selamat datang mesin yang ditunggu
mengerjakan kedewasaan.
Annisa tidak menduga, ini melebihi mulusnya rencana.
Dukungan mereka―orang di luar sana―terhadap pemikirannya menumbuhkan harapan.
Kepada siapa ia minta dilamar? Annisa berjanji tidak akan jual mahal.
"Menikah itu ibadah," ujar Annisa pada teman-temannya. Hingga Annisa
bertemu seorang pria yang siap membina rumah tangga dan menebarkan senyum
dunia. Rasanya jatuh cinta bagi Annisa sama halnya dengan dibawakan sebongkah
dunia. Ibunya terus mengawasi dan berkomentar dengan slogan pamungkasnya
"istri nurut suami." Annisa cuma minta doa, supaya langgeng dan
sejahtera. Hidup hanya sekali, kenapa harus disia-sia? Jadilah Annisa menjikah
muda dengan tanggung jawab melebihi usia.
Dari dulu, Annisa menyimpan cita. Suatu saat, ia ingin
keluar dari zona nyamannya. Ia ingin memulai petualangan baru, menjadi aktivis
sekaligus penulis. Mumpung masih muda dan banyak hal yang mau diwujudkan,
Annisa mulai menyusun daftar kegiatan. "Usia muda adalah usia
produktif," ujarnya sembari bersenandung. Annisa tidak sabar melepas masa
lajangnya. Kemudian, ia yakin, suaminya akan memberi kebebasan yang selama ini
ia impikan. Suaminya adalah pejuang yang membebaskannya dari peraturan. Memang
terdengar konyol, kau dibebaskan dari aturan ibumu sendiri. Tapi begitulah
Annisa.
"Jadilah ibu rumah tangga. Dedikasikan waktumu untuk
keluarga. Menjadi istri adalah pekerjaan mulia," suaminya berpidato pada
malam mereka telah terikat. Ingin Annisa mengurungkan niat. Ketika ia berpikir,
ia baru saja mendengar sumber peraturan yang baru….