Di hari
berhujan yang seperti biasa, yang sama dengan hari-hari berhujan lainnya, duduk
perempuan-berkaus-kaki-selutut dengan jas hujan yang membungkus tubuhnya. Kau boleh
kasihan melihatnya duduk sendirian. Kau boleh pula mengira ia aneh duduk di
bangku di bawah ratapan hujan. Tapi lihatlah wajahnya. Segantang harapan
terkuak pada celah bibirnya. Tanpa kau pahami apa yang ia nanti.
Perempuan-berkaus-kaki-selutut
mengingat janji yang ia letakkan dalam buaian seorang lelaki. Kita panggil dia
lelaki-bersepatu-kanvas. Dari garis wajahnya yang keras, penuh duka dan luka,
kita bisa melongokkan kepala ke dalam matanya. Dalam sekali di sana. Ada beriburibu
bahkan berjutajuta yang telah ia telan atau yang tak bisa ia buang bermukim. Melekat
pula salah satunya adalah janji yang perempuan-berkaus-kaki-selutut letakkan. Nampaknya
lelaki-bersepatu-kanvas tidak dapat membedakan apakah ini jenis yang perlu ia
telan atau tak bisa ia buang.
“Tidakkah
kau lelah menjadi bahtera? Apakah angin akan mendorong layarmu hingga kau
temukan tanjung pengharapan? Ataukah kakimu melangkah hingga lelah menyusuri
jalan berbunga?”
“Aku
pantang berkata lelah. Sebab aku akan merasa kalah. Kekalahan itu hanya timbul
bila aku menyerah. Hidup itu sendiri perjalanan, mengapa aku memupuskan petualangan?
Hidup tidak akan berhenti berjalan selama aku bisa melangkah dalam
harapan-harapan yang kubangun susah payah. Ini bukan titik mudah.”
“Jadilah
bahtera untukku dan tunjukkan indahnya samudera padaku. Betualanglah denganku
dan jadikan kata-kata dari mulutku sebagai bunga dalam perjuanganmu.”
“Tidak. Ini
milikku, perjalananku, bebanku sendiri. Bukan milikmu atau sesiapa yang
menginginkan aku. Karena bila nantinya ikut, kau akan menganggap ini bagian
dari perjalananmu juga. Kau bisa saja mengubah arah atau mengambil peta.”
Lelaki-bersepatu-kanvas
menyerah dalam usahanya. Sebagai lelaki ia tidak mau dianggap lemah tapi latar
belakang sikapnya hanyalah pasrah. Ia tahu pasti perempuan-berkaos-kaki-selutut
harus memecahkan dulu keinginannya. Maka ia mengajukan syarat.
“Kembalilah
bila kau mencapai mega. Kembalilah bila kau jenuh pada semesta. Jika tidak ada
yang mendengarmu lagi, maka akulah yang akan menampung segala keluh kesahmu.”
“Tidak
ada laki-laki yang suka menunggu.”
“Kecuali
aku.”
“Kau
punya kehidupan.”
“Denganmu,
benar kan?”
“Aku
tidak di sini untukmu.”
“Aku pun
tidak memintamu, ya kan?”
Perempuan-berkaos-kaki-selutut
diam. Setiap lelaki-bersepatu-kanvas menatap wajahnya lekat-lekat, ia selalu
memalingkan wajah. Ia takut akan terbenam di kedalaman mata lelaki itu, tidak
sanggup keluar, dan melupakan perjalanan yang ia gadang-gadang. Sebagian isi
hatinya merangkak keluar melalui celah di bibirnya dalam bentuk kebisuan yang
menggantung di langit-langit. Menjadi awan kelabu. Seperti abu di matanya, juga
abu pada bayang-bayangnya. Ia akan segera menguap. Melarikan diri. Mengubah diri.
Menjadi partikel bebas.
Dan mana
ada yang tahu kini ia di pinggir jalan, yang tak ada bunganya, yang terlalu terjal
medannya. Kakinya terluka, juga sesuatu di balik raganya. Sesulit itu, ia baru
tahu, petualangan yang dilakukan seorang diri. Ia bayangkan
lelaki-bersepatu-kanvas yang entah akan membukakannya pintu atau tidak. Jangan-jangan
si lelaki telah menemukan kedamaiannya sendiri, berlayar jauh melalui matanya,
atau tenggelam dalam penantian panjang.
Maka ia
tak pernah berani kembali. Ia hanya duduk, di bawah hujan, menunggu kemarau,
membiarkan dirinya membatu. Sementara tanpa sepengetahuannya, lelaki-bersepatu-kanvas
telah terbenam dalam matanya sendiri, memunguti janji yang tak pernah kembali.
salam kunjungan nih.
BalasHapusPertama thanks dah berbagi posting yang menarik dan bermanfaat ini
Semoga sukses
terima kaish sudah berkunjung :)
Hapus