Waktu Indonesia Bagian Rindu

shutterstock.com
“Mana emailnya? Aku keburu ngantuk nih! Buruan dooong!”

“Iya bentar. Koneksinya lemot nih.”

“Lewat mana gitu ngirimnya. Dropbox kek.”

“Lewat message di Facebook aja mau ga?”

“Yaudah. Bilang kalo udah beres ngirim.”

“Sip.”

Fala mencibir. Coba dari tadi punya ide begini. Dia pasti sudah terlelap di kasurnya yang empuk di bawah lindungan selimutnya yang nyaman. Tak perlu dia memusingkan koneksi internet yang bikin darah tinggi atau  email yang sedang mengalami gangguan. Apalagi kalau ia harus sekelompok dengan Nana. Cewek bawel dan tidak sabaran yang sering menjadi ujian baginya ketika mengerjakan tugas kelompok. Nah! Tugas kuliahnya berhasil ia kirim melalui Facebook pada temannya.


Baru saja akan sign out, mata Fala justru tertumbuk pada status terbaru di beranda Facebook-nya. Matanya yang tinggal sebaris langsung segar. Ia yang tadinya ingin segera tidur mengurungkan niat. Ada bahan rumpi yang hangat! Buru-buru diketiknya pesan pada teman gosipnya, Alena.

“Eh, Len, kamu tau ga? Si David balikan sama Ratu lho!”

“SUMPE LO? Tau dari mana?”

“Ituuuu di Facebook. In relationship lagi!”

“Waduh. Aku udah lama ga online. Bentar-bentar aku cek.”

“Kamu ada gosip baru ga yang belum aku tau? Bagi-bagilaaah.”

“Ada! Cowoknya si Ratri mau pulang ke sini!”

“OMG! Paraaaaah! Aku envy!”

“Kenapa jadi kamu yang heboh, Fal?”

“Bayangin aja, mereka udah jadian tujuh tahun. Dua tahun ini mereka LDR karena cowoknya kuliah di Jerman. Sekarang, cowoknya mau pulang. Siapa coba yang ga envy? Ih kapan yaaa aku bisa pacaran awet kayak gitu..”

“Makanya, Fal. Selektif dong kalo cari cowok. Kayak aku nih. Single itu pilihan terbaik kalo kamu belum nemu yang tepat. Ngapain buka hati kalo kualitasnya belum terbukti?”

“Aaaah itu kamu aja yang ga bisa move on dari Andri! Eh udahan ya rumpinya. Besok aku kuliah jam tujuh.”

“Dasar Fala. Lagi seru-serunya juga. Nighty nights!”

Suara dalam kepala Fala seperti berbisik menyindir. Sudah malam, Fal. Matikan gadget-nya. Ayo istrahat. Ia lalu meletakkan ponselnya di bawah bantal. Setelah beberapa kali kedipan mata, Fala terlelap.
***
I don’t know where you going
Or when you’re coming
I left the keys under the mat to our front door
For one more chance to hold you close
I don’t know, where you’re going
Just get your ass back home

Fala tersentak bangun. Ah iya, ia lupa mengganti theme song alarmnya. Selain karena lagu itu tidak tepat untuk membangunkan seseorang dari tidurnya, ia juga benci dengan liriknya. Itu mengingatkannya pada seseorang. Mendadak, paginya menjadi sendu.

“Kita belum lama kenal. Tapi aku ngerasa.... nyaman sama kamu. Gapapa ya, aku bilang gitu?”

“Gapapa kok. Kenapa harus aku larang?”

“Iya sih. Hehe.”

“Oiya. Kamu ga tidur apa? Bukannya besok mau syuting?”

Waktu itu Fala ingin mengetik, “Kalo aku tidur, kapan lagi bisa ngobrol sama kamu?” tapi ia justru mengetik, “Ga mau tidur, belum ngantuk aja.”

“Oh gitu. Aku baru sampe asrama nih. Mau makan dulu. Kamu udah makan?”

“Kamu lupa apa? Kita kan beda waktu enam jam. Ngapain aku makan jam segini. Ini kan jam dua pagi.”

“Haha maaf ya. Aku suka lupa kalo kita beda benua. Soalnya aku merasa dekat sama kamu. Seakan ga terpisah ruang dan waktu.”

Fala terdiam membaca chat yang baru ia terima dari Ben. Ia ingin mengatakan bahwa ia merasakan hal yang sama. Tapi, apa gunanya? Toh tidak menjadikan status teman menjadi pasangan di antara mereka. Walau ia dan Ben saling tahu perasaan masing-masing. Namun Ben berkeras ia tak sanggup menjalani long distance relationship. Jarak yang menghalangi mereka membuat Ben ragu. Baginya, rindu tidak bisa hanya ditampung di social media. Rindu butuh bertemu.

Semangat Fala untuk berangkat kuliah pupus sudah setelah memorinya hadir pagi-pagi. Ia menatap tembok kamar kostnya. Ada peta dunia terhampar di sana. Lalu ada garis putus-putus yang ia buat untuk menghubungkan Jerman dengan Indonesia. Ada catatan percakapan sederhana dalam bahasa Jerman berserta terjemahannya yang ia buat di atas karton. Ia bahkan memasang dua buah jam dinding. Satunya berdasarkan Waktu Indonesia Bagian Barat. Satunya lagi berdasarkan Waktu Indonesia Bagian Rindu. Kedua jam itu memiliki perbedaan waktu enam jam.

Sebenarnya kabar pacar Ratri yang akan pulang ke Indonesia membuat Fala semakin patah hati. Ben tidak pernah menyebut-nyebut rencana pulang ke Indonesia dalam waktu dekat. Artinya, penantian Fala tidak akan singkat. Bisa sebulan, enam bulan, dua belas bulan, atau... beberapa tahun ke depan. Bukan hal yang menyenangkan bagi seseorang yang jatuh cinta untuk menanti hal tak pasti. Namun Fala pikir ini sudah saatnya tegas pada diri sendiri. Ia bukannya tak suka menunggu. Tapi ia tak mau menghabiskan waktu dengan menghitung hari-hari yang menyesakkan dada ini. Ia harus mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Atau.... ia harus berhenti mencintai....

Malamnya, Fala sudah tak sabar ngobrol dengan Ben. Setelah jam menunjukkan pukul satu malam, Fala langsung mengetik chat.

“Ben, udah pulang kuliah? Maaf kemarin ga ngechat sama sekali. Masuk pagi soalnya.”

“Udah nih. Baru banget masuk kamar. Di luar dingin. Minus lima derajat. Di sana gimana?”

“Bogor ujan terus. Tapi suhunya ga sampe minus. Kamu makan apa malam ini?”

“Mie instan. Aku kangen Indonesia nih. Hehe.”

Fala ingin sekali mengetik, “Ga kangen sama aku apa,” tapi ia mengurungkan niat. Memangnya, dia siapa? Meski ia juga ragu bila hubungan mereka hanya disebut teman. Baginya Ben lebih dari sekedar berbagi cerita suka dan duka. Ben adalah tempatnya menemukan rasa nyaman dan senang. Ben yang entah bagaimana caranya membuatnya terjaga tengah malam hingga menjelang pagi hanya untuk mengetik barisan kata-kata. Mengatakan segala hal yang ada dalam pikirannya, membaginya, lalu berganti posisi menjadi pendengar sejati. Hingga ia lelah dan tertidur tanpa disadari.

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Boleh ya? Ganggu ga?”

“Haha, kamu kenapa sih? Santai aja lagi. Kalo ada sesuatu ya bilang aja. Biasanya juga ga perlu minta izin dulu kan. Kamu kayak asing aja sama aku. Kapan coba aku ga mau tau cerita kamu.”

“Kayaknya kita berhenti berhubungan dulu deh...”

“Hah? Maksudnya?”

“Iya. Besok-besok ga ngobrol sampe pagi lagi kayak gini. Aku ngerasa kurang tidur. Aku juga capek ngetik chat panjang-panjang. Lagian nanti aku makin ketergantungan. Nungguin kamu melulu padahal aku aja ga tau kamu pulangnya kapan. Kita kan ga pacaran.”

“Oh yaudah.”

Fala meletakkan ponselnya di dalam laci. Ia benci keadaan ini. Rasanya ia ingin sekali meralat chat-nya tadi. Minta maaf pada Ben lalu seperti biasanya, bicara tanpa memedulikan waktu yang berjalan atau pagi yang datang. Belum apa-apa ia sudah rindu. Namun Fala membulatkan tekad. Kalau bukan ia yang mulai, lalu siapa? Ben sepertinya oke-oke saja dengan keadaan mereka. Ben tak akan melakukan yang baru saja Fala lakukan.

Fala berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan belajar tak menyusahkan hatinya. Ia akan belajar bertanggung jawab pada pilihannya. Cintanya bisa ditunda. Akan kembali berlanjut setelah Ben pulang ke Indonesia. Untuk sementara, Fala bisa memberi kepalanya ruang agar berpikir matang, mau bagaimana setelah ini.
***


Februari yang biasa-biasa saja.


***


Maret yang datar-datar saja.


***


April yang tanpa cerita.


***


Mei yang berjalan apa adanya.


***
Juni.



“Halo penduduk Indonesia!”

Fala memicingkan mata. Ben baru saja menyapanya lewat chat. Tunggu. Hah? BEN? Benar ini dia? Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka bicara. Fala ingin berteriak. Fala ingin menari, berlari, atau apa saja untuk meluapkan perasaannya. Fala ingin segera bertemu dengan Alena dan berkata bahwa Ben belum melupakannya!

“Hai Ben! Lama ga ngobrol!”

“Bentar ya. Aku mau kirim foto dulu ke kamu.”

Fala mengerutkan kening. Foto? Tidak biasanya Ben mengiriminya foto. Biasanya Fala yang mencari sendiri foto-foto Ben dari Instagram atau Facebooknya. Ben memang bukan lelaki narsis yang hobi selfie. Namun melihat wajah manis Ben dengan rambut gondrongnya menjadi hiburan tersendiri bagi Fala.

Buru-buru Fala men-download foto Ben. Ia mengamatinya. Ia tidak percaya.

“Kamu di mana?”

“Kamu udah liat fotonya?”

“Kamu lagi bercanda?”

“Ga kok, Falaku. Aku di bandara! Bisa kita ketemu untuk menumpahkan rindu?”

Ben tidak perlu bertanya. Sudah pasti. Karena Fala juga rindu!
***

Sama seperti cerpen “Menjadi Ratu”, cerpen kali ini juga pesanan teman kampus. Semoga suka. Semoga harapanmu jadi nyata!

4 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama