"Mein Name ist Miriam," Frau Artha
mengucapkannya dengan lantang sembari menunjuk tulisan di papan tulis.
"Mein Name ist Miriam," anak-anak di kelas 7-4 mengikuti ucapan Frau
Artha. Namun seseorang tidak ikut memperhatikan. Ia terlihat menguap. Untuk
mengusir kantuk, ia membuang pandang ke luar jendela. Dilihatnya lapangan
sekolah. Anak-anak kelas tiga sedang berolahraga di sana. Di antara kumpulan
anak-anak kelas tiga, ia bisa melihat sosok pacarnya, tengah merebut bola.
"Olivia!" Olivia tersentak dari lamunannya.
Dilihatnya, Frau Artha berjalan mendekat. "Kamu tidak memperhatikan
saya?"
"Tidak, Frau. Saya
memperhatikan, kok."
"Tapi kamu tidak
mengikuti apa yang saya lakukan."
"Eh…"
"Silakan keluar. Kamu
bisa ikut pelajaran saya minggu depan."
Olivia menelan ludah. Nana
menatapnya dengan kasihan. Namun sebagian besar anak menatap dengan cara
melecehkan. Sisanya, terlihat sinis atau malah tak peduli. Mulutnya segera
terasa masam. Tanpa tahu cara membela diri, ia mengangguk dan mengikuti perintah
Frau Artha. Guru bahasa Jermannya itu sangat pantas untuk marah. Olivia yang
salah.
Tepat ketika Olivia menutup pintu ruang kelas dari luar,
Mas Wahyu menghampirinya. "Kamu mau kemana? Tidak ikut pelajaran bahasa
Jerman?" Gawat. "Tidak,
mas. Aku izin pulang duluan. Kepalaku pusing." Mas Wahyu terlihat
khawatir. Ia menempelkan tangannya pada kening Olivia. "Kamu sakit? Kenapa
tidak bilang tadi pagi? Biar aku buatkan surat sakit. Kamu tidak usah
masuk." Olivia memaksakan senyum terbaiknya, "Aku kan mau ketemu mas.
Tenang mas, aku baik-baik saja. Aku pulang sendiri, ya?" Dengan enggan,
Mas Wahyu membiarkan Olivia pulang.
Olivia masygul. Pulang bukan pilihan. Bisa-bisa eyang
curiga kalau alasannya mengada-ada. Kalau tidak pulang, Mas Wahyu yang curiga.
Tanpa pikir panjang, Olivia memutuskan bersembunyi di ruang ganti perempuan.
Setidaknya, walau ia tidak pulang, Mas Wahyu tidak bisa menemukannya.
"Ada yang berkeliaran di jam pelajaran rupanya. Mau
jadi anak nakal ya?" seseorang berkata pedas, mengejutkan Olivia dari
belakang. Olivia berbalik. Di depannya berdiri seorang lelaki. Ah, ia ingat!
Lelaki itu, lelaki yang pernah menceramahinya tentang kerendahan hati. Lelaki
yang mempertanyakan kenapa Mas Wahyu mau jadi pacarnya. Olivia berusaha keras
tidak mencakar muka lelaki itu. Ya ampun, betapa buruknya hari ini! Dimarahi
Frau Artha, terpaksa menghindari Mas Wahyu, dan sekarang lelaki ini. Kurang
buruk di mana lagi?
"Tidak bosan ya ikut campur urusan orang?"
sahut Olivia dengan kasar. Ia mencoba tidak peduli, membiarkan lelaki itu tetap
berdiri di tempat sementara ia berjalan menuju ruang ganti. "Oh, sudah sok
jagoan ya, si anak baru? Anak kelas satu yang merasa hebat? Tidak punya teman
tapi merasa bangga?" Bukan
urusannya. Ayo Olivia, lupakan, pura-pura tidak mendengar. Namun suara dari
hati kecilnya yang berteriak agar ia tak terpancing ternyata gagal. Olivia
berbalik dengan marah. Tangannya menuding. "Mau apa sih? Kamu siapa? Tidak
suka denganku? Aku-tidak-peduli! Aku tidak harus memaksa semua orang
menyukaiku! Aku tidak mengenalmu, tiba-tiba kamu menjadi penceramah ulung dan
mengomentariku. Tahu apa kamu?"
"Turunkan tanganmu. Sangat tidak sopan," balas
lelaki itu dingin. Tiba-tiba Olivia merasa malu. Mama tidak pernah mengajarinya
untuk marah di depan umum. Mama justru menyuruhnya menjadi orang yang sabar dan
terkendali. Kali ini aku sangat gagal
dalam mengendalikan diri. Gara-gara orang ini. Olivia mengangkat dagunya,
menajamkan mata. Ia mencoba menantang. Biar
saja, biar ia semakin marah dan benci padaku. Apa ia berani memukulku? Aku akan
memancingnya. "Sudah kubilang waktu pertama kali kita bertemu. Kamu
kekanakan. Kamu seperti sinetron." Sebelum Olivia sempat berucap, lelaki
itu pergi.
Cepat-cepat Olivia berlari masuk ke ruang ganti. Nafasnya
tidak beraturan. Marah, sakit , kecewa, terhina, kesepian, semua bercampur aduk
menjadi satu. Marah karena Frau Artha mengusirnya dari kelas. Walaupun secara
halus, ia masih ingat bagaimana tatapan menghina teman-temannya. Ia kecewa
karena tidak ada yang membantunya tetap bertahan di kelas. Bahkan Nana cuma melihatku dengan tatapan iba tanpa berbuat apa-apa.Kesepian
tanpa dukungan Mas Wahyu. Ia takut Mas Wahyu akan marah karena ketahuan ia
melamun di jam pelajaran. Salahnya. Ini semua salahnya yang kurang
berkonsentrasi.
Semalam…
"Pitung puluh," ucap Yu Sri. "Wah, itu
berapa eyang?" Olivia menatap eyang. Eyang tersenyum. "Tujuh puluh
ribu."
"Banyak sekali. Ada apa
sih eyang, kok nitip bahan-bahan kue sebanyak itu ke Yu Sri?"
"Mau bikin kue, nduk.
Buat mamamu. Dia mau ke sini."
Yu Sri pamit pulang setelah
eyang menyodorkan uang. Ia tersenyum ramah pada Olivia. Tak lupa ia memberi
Olivia seikat rambutan. "Panen," ujarnya sambil terkekeh. Dengan
malu-malu, Olivia menerimanya. "Kapan mama ke sini, eyang?"
"Secepatnya."
"Sama papa?"
Eyang tidak menjawab. Wajahnya sulit terbaca. Menghindari
kecanggungan, Olivia mengangkut barang-barang belanjaan dan membawanya ke
dapur. Rasanya Olivia ingin menangis dan marah-marah saja. Menelpon mama lau
bertanya, apa benar yang dikatakan eyang kalau orang tuanya akan bercerai. Lalu
kenapa ia tidak diberi tahu apa-apa. Kenapa ia dibiarkan menjadi pihak yang
buta. Sekali pun ia tidak dekat dengan mama karena lebih dekat dengan Mbak
Murni yang dulu mengasuhnya sejak kecil, ia tetap berhati tahu. Apa adil kalau aku tinggal di Jawa bersama
eyang? Supaya mama dan papa tidak berebut mengajakku tinggal bersama salah satu
dari mereka?Tapi aku dipilihkan, bukan aku yang memilih akan tinggal dengan siapa
dan di mana. Apa ini adil?
Mempertanyakan keadilan tidak akan ada habisnya. Adil
bagi sebuah pihak belum tentu adil bagi pihak lain. Kini Olivia merasakannya.
Ia bimbang. Mana yang lebih adil, tinggal salah satu orang tuanya atau tidak
sama sekali? Bukankah tinggal di Jawa terlalu jauh untuk bertemu dengan orang
tuanya? Ia sudah berpikir, papa tidak mungkin bisa sering-sering
mengunjunginya. Papa sibuk. Mama lebih enak. Menitipkan anak pada ibunya tentu
memberi rasa aman dan nyaman. Tidak canggung kalau menjenguk. Toh yang dijenguk
anak dan ibunya, bukan mertua dari mantan pasangan hidupnya.
"Kamu ada masalah?" suara Nana mengejutkan
Olivia. Untuk kesekian kali, hari ini ia dikejutkan dari belakang. Entah kenapa
orang-orang suka sekali mengganggu pikirannya yang tengah bermain. "Oh,
Nana. Kamu di sini?"
"Hari ini pelajaran
olahraga. Kukira kamu sudah ganti baju."
"Iya, aku ingat. Aku
baru mau ganti baju."
"Tadi aku ketemu pacar
kamu."
"Mas Wahyu?"
"Siapa lagi?"
"Kukira kamu tidak
tahu."
"Sekarang aku sudah
tahu."
"Kenapa dengan Mas
Wahyu?"
"Dia pikir kamu sakit.
Aku bilang tidak tahu. Aku takut salah ngomong. Nanti disangka tukang
bohong."
Mas Wahyu pasti khawatir. Sementara Olivia memilih
sembunyi di ruang ganti dan pura-pura ingat hari ini ada jadwal pelajaran
olahraga. Ia tidak bawa baju ganti. "Nana, tadi apa reaksi teman-teman
waktu aku dikeluarkan?" Nana beringsut. Ia duduk di dekat Olivia.
Kepalanya tertunduk. "Mereka kurang peduli."
"Mereka tidak
peduli."
"Jangan bilang
begitu."
"Memang benar kok.
Mereka mengatai aku aneh. Aku dengan beberapa hari yang lalu di warung
bakso."
"Kamu yakin kamu yang
mereka bicarakan?"
"Ada berapa banyak sih
nama Olivia di sekolah kita?"
"Kamu merasa
tersinggung?"
"Aku merasa luar
biasa."
Nana tertawa hambar.
"Kamu lucu, Olivia." Olivia mendelik, "Apa yang lucu?"
"Cara kamu barusan.
Kamu membela diri. Seakan kamu disalahkan karena teman-teman menganggapmu aneh.
Padahal mereka tidak salah." Olivia merasa ditinju dan dibanting. Kalau di
depannya ada cermin, pasti ia bisa melihat wajahnya yang merah padam. Satu-satunya
teman yang nampak benar-benar mau bicara dengannya berpendapat sama dengan yang
orang-orang pikirkan. Hari ini ternyata lebih buruk. Hari ini neraka.
"Kamu bilang apa tadi?" Nana bangkit. Ia bicara
tanpa menghadapkan wajah pada Olivia. "Tidak ada siaran ulang." Seharusnya hari ini aku bolos saja.
"Nana, aku pikir kamu mau jadi temanku."
"Memang mau dan memang
sudah kulakukan. Lihat kan? Aku bicara begini karena aku temanmu."
"Tapi katamu, mereka
tidak salah. Aku aneh."
"Selama ini, aku pikir teman-teman sekelas yang
jahat. Hanya karena kamu pemalu dan tidak bisa bahasa Jawa, kamu dikucilkan.
Tapi, setelah kamu diusir Frau Artha, aku baru sadar. Kamu yang jahat pada
dirimu sendiri. Kamu sadar tidak sih, kami sudah mencoba dengan tangan terbuka,
menyambutmu sebagai teman. Tapi kamu? Selalu pakai alasan. Merasa tidak cocok
dengan siapa-siapa. Padahal kamu juga sering pakai bahasa Indonesia. Kami tidak
selalu pakai bahasa Jawa. Terus kamu bikin alasan baru, logat kami beda. Kenapa
kamu tidak menyesuaikan diri?"
"Adaptasi juga butuh waktu, Na," suara Olivia
memelas. Ia tidak tahan penghakiman. "Kami juga butuh waktu terbiasa
dengan kamu. Kami berusaha ramah. Dan kamu? Kamu menutup diri. Kamu tahu apa
yang paling bikin aku marah?" Olivia menggeleng. Pasti mukanya menjadi
biru sekarang. "Kamu bergantung padaku." Jangan biarkan air mataku jatuh di depan Nana. Jangan. Jangan. Aduh. Olivia
masih memperhatikan Nana yang terus menumpahkan perasaannya. "Kamu jarang
mengerjakan tugas. Alasan lagi, alasan lagi! Kamu bilang lupa lah, susah lah,
tidak mengerti lah. Kamu cuma tidak berusaha mengerjakan kewajibanmu. Ulangan
saja kamu menyontek. Nah, giliran menyontek, baru kamu sadar bahwa kamu punya
teman sekelas. Kurang aneh apa coba kamu di mata orang? Baju olahraga saja
jarang kamu bawa. Aku hafal, tiap bawa training, kamu pakai ransel. Karena
tasmu yang ini tidak muat dipakai bawa baju ganti. Iya kan?"
Olivia merasa tubuhnya menciut dan meleleh. Ia sangat
berharap sekarang semuanya berakhir. Tubuhnya yang telah berubah wujud menjadi
cairan diserap oleh pori-pori lantai ruang ganti. Lalu menyusup ke bawah tanah.
Tidak pernah naik lagi ke permukaan. "Kamu jauh-jauh ke sini buat sekolah,
bukan cuma pacaran. Kasihan pacarmu itu. Dia tidak akan suka melihat kamu
seperti ini, Olivia." Olivia berlari keluar. Tanpa peduli tatapan heran
yang menyelimuti wajah teman-teman sekelasnya. Tanpa peduli kalau guru
olahraganya hafal siapa dia. Mas Wahyu!
Maaf! Olivia memekik dalam hati.
Sebelumnya :
nice post :)
BalasHapusditunggu kunjungan baliknya yaah ,
hehehe
BalasHapusesmosi jiwa x_x
BalasHapus