/http://www.shutterstock.com/pic-58627348/ |
Ini
hari jadi kami.
Hujan
turun rintik-rintik bersama angin dingin menusuk kulit. Kurapatkan jaket dan
kuselipkan tangan di bawah ketiak. Sebentar-sebentar aku menengok ke arah jam
dingin atau memeriksa kehangatan teh dalam cangkir. Kepulan uap hangat dari
tehku mulai menghilang. Dudukku mulai tak diam, gelisah menunggu datangnya
seseorang.
Kunyalakan
televisi. Suara dari layar kaca membuatku sedikit melupakan kegelisahan. Namun
aku terus mengganti saluran. Hingga petir mulai menyambar di kejauhan. Aku
terpaksa mematikan televisi dan kembali terdiam.
Hampir
satu jam.
Lalu
lonceng sapi dari kuningan yang kupasang sebagai ornamen di pintu depan
berdenting. Wajahku menjadi hangat. Bibirku terangkat. Senyum lega segera
kupasang. Sebelum membuka pintu, buru-buru aku mematut diri depan cermin.
“Maaf
ya, tadi jalanan macet,” katamu dengan wajah sedikit mengiba. Di tanganmu ada
sebuket mawar pink dan putih. Di tanganmu yang satunya ada sekotak lasagna
buatanmu yang selalu kau masakkan di hari spesial kita.
“Ngga
apa-apa. Ayo masuk. Kamu pasti capek.”
Kita
makan dengan perlahan. Kita lebih banyak tertawa dan bicara. Kau terus menggoda
bahwa aku begitu cantik. Dan aku terus terpesona dengan buket bunga yang kau
letakkan di sisi meja.
“Eh,
tadi aku telpon kamu di jam makan siang. Tapi kamu ngga angkat.”
“Oh.
Maaf aku lupa telpon balik. Tadi aku makan siang sama klien di luar.”
“Sms
aku sampai ngga? Kok ngga kamu balas?”
“Aku
ngga tahu ada sms. Hapenya aku silent.”
Kutuangkan
air putih ke dalam gelasmu. Kau makan masakanku dengan lahap seperti orang kelaparan.
Dan setiap melihatmu seperti itu, aku memperhatikan seakan takut kehilangan
momen-momen kecil semacam ini. Aku tidak mau mengusikmu. Melihat sosokmu di
sampingku saja membuatku dadaku berdesir dan pipiku bersemu. Aku terlalu sulit
mengungkapkan betapa bahagianya aku memilikimu.
Kamu
terbatuk, mungkin tersedak. Kusodorkan air dengan sayang.
“Katanya
makan di luar sama klien. Kok masih kelaparan gini?”
“Makannya
cuma sebentar, kebanyakan bahas kerjaan. Kliennya kurang suka makan. Aku jadi
ngga enak kalau kelihatan nafsu sendiri.”
Pengakuanmu
yang terasa polos menggelitik perutku. Antara merasa lucu, dan lagi-lagi
senang. Aku selalu senang mendengar cerita-ceritamu, entah penting atau tidak
bagiku. Intinya aku senang mendengar suaramu atau mengetahui keterbukaanmu
padaku. Itu lebih dari cukup mengingat kita jarang bertemu karena tinggal di
kota yang berbeda.
“Besok
kamu jadi kan temenin aku ke ulang tahun Uti?”
“Ya,
soal itu, aku minta maaf. Bos mendadak minta rapat. Aku ditelpon waktu lagi di
jalan mau ke sini.”
“Yah....”
“Tapi
kalau resepsi Anton, aku bisa kok temenin kamu. Tenang.”
“Kayaknya
tiap aku ajak kamu pergi, jadwalnya sering kurang cocok ya.”
“Itu
juga bukan maunya aku..”
“Mending
kamu aja yang ngajak jalan, jangan aku duluan. Biar bisa menyesuaikan sama
kesibukan kamu.”
“Kamu
ngambek, sayang?”
“Ya
mau gimana lagi? Kamu kan kerja. Kecuali kamu pengangguran, baru aku ngambek
kalau kamu keluyuran dan nyuekin aku.”
Kau
mengusap-usap tanganku dan memandang lekat-lekat. Caramu memandang yang
membuatku tak kuat. Rasanya aku ingin lebur ke dalam bola matamu, mengambang di
sana, dan menunggu hingga kiamat. Di sana aku bisa melihat kehidupan yang
kuimpikan dan ketenangan yang menghipnotis.
Setelah
menghabiskan waktu berjam-jam, kau pamit pulang karena besok harus kembali
bekerja. Aku melepaskan kepulanganmu dengan sedikit bersedih. Mungkin kau baru
bisa menyambangiku seminggu ke depan. Mendadak kangen menghujam jantungku dan
mengiris-iris rasaku. Kedua tanganku memeluk tubuh, seakan dengan melakukannya
membuatmu tetap tinggal.
Esoknya,
teman-teman dekatku di kantor saling memberi selamat untuk hari jadi kita yang
sudah menginjak empat tahun. Mereka banyak memuji betapa langgeng dan adem
ayemnya hubungan kita. Coba kau ada di sini, aku ingin sekali memamerkanmu pada
semua orang. Aku ingin memperlihatkan betapa lengkapnya kita ketika bersama.
“Pacarmu
itu sempurna banget ya. Padahal kalian long
distance. Tapi dia ngga pernah selingkuh.”
“Hehehe,
begitulah.”
“Pacarmu
romantis banget masakin lasagna sama bawain bunga. Duh, pacarku belum pernah
masakin aku.”
“Minta
sana sama pacarmu, hehe.”
“Kalian
jarang berantem ya? Kok di twitter
mesra terus..”
“Semua
orang yang pacaran pasti ada aja berantemnya. Cuma aku milih ngga nunjukin di
depan umum. Itu kan masalah pribadi...”
“Apa
sih resepnya biar langgeng?”
Kutatap
satu per satu wajah teman-temanku yang sejak tadi memberondongku dengan
berbagai pertanyaan. Mereka terus bertanya hal-hal kecil yang menurutku terasa
aneh. Bukankah mereka juga tahu rasanya pacaran? Kenapa mereka heran melihat
hubungan orang? Menurutku, hubungan dengan seseorang itu rasanya sempurna.
Tidak manis, tidak pahit, tapi pas. Ada beragam bumbu di dalamnya. Ada berbagai
macam pengalamannya. Walau karakter orang yang menjalani berbeda-beda.
“Aku
ngga punya resep. Siapa bilang aku jarang berantem? Kadang berantem itu perlu
biar hubungan kita makin berbumbu. Siapa bilang komunikasi lancar? Yang jarak
dekat aja bisa salah paham apalagi yang jauh. Pacarku kan sibuk. Kadang dia
ngga balas smsku. Kadang dia ngga angkat telponku. Kadang mau jalan aja susah.
Soal romantis itu bukan cuma usaha dari pihak si cowok. Cewek juga bisa
romantis kok. Dan romantis itu bukan cuma dinilai dari bunga atau masakan. Dia
duduk di sampingku dan bicara sambil menatap mataku aja rasanya sudah wow.
“Pacarku
bukan pacar yang sempurna. Aku juga ngga sempurna. Yang sempurna itu kalau kami
bersama....”
Teman-temanku
tertegun sambil berujar ooh dan mengangguk-angguk setuju.