Sebuah persahabatan tidak akan lekang oleh zaman. Persahabatan adalah ikatan yang tak punya alasan. Persahabatan yang tulus bagaikan pengabdian. Tak ada kata menyerah untuk mengarungi petualangan bersama, sekalipun tak ada kesempatan untuk kembali atau merasa sama lagi. Karena ketika semuanya berakhir, yang tinggal hanya kenangan. Sebab, saat sebuah kisah berakhir, akan ada perpisahan. Entah menyedihkan atau menggembirakan.
Inilah
salah satu sisi yang sangat berbekas ketika saya menamatkan membaca Trilogi The
Lord of The Ring (LOTR). Tentang kisah petualangan sembilan pembawa cincin
dengan tokoh sentralnya seorang hobbit berjari sembilan bernama Frodo Baggins.
Novel trilogi ini sendiri telah diangkat ke layar lebar dan menjadi salah satu
film fiksi fantasi terbaik sepanjang masa yang pernah saya nikmati. LOTR terbagi
dalam tiga buku-filmnya
juga−yaitu The Fellowship of The Ring,
The Two Tower, dan The Return of The King.
The Two Towers |
Sampai di sini, kehidupan Frodo berjalan
bahagia. Hingga suatu hari Mr. Bilbo merasa bahwa ia sudah cukup beristirahat
dari petualangannya dan ingin melanjutkan perjalanan. Mr. Bilbo pun membuat
pesta perpisahan sekaligus perayaan ulang tahunnya dan pergi meninggalkan Frodo
beserta seluruh harta warisannya.
Waktu
menggerus usia, kecuali fisiknya. Frodo tidak pernah terlihat bertambah tua. Padahal
tahun demi tahun merangkak, tidak lebih cepat atau lebih lambat. Pertanyaan
orang-orang pun terjawab. Itu karena cincin yang telah ia kalungkan di lehernya
sebagai warisan dari Mr. Bilbo. Baru ketika ia mulai menua secara usia, Frodo
pun tahu ia punya tanggung jawab untuk menghancurkan cincin itu dan
menyelamatkan dunia. Maka ia pergi bersama pelayan sekaligus sahabatnya yang
setia melebihi segala yang ia ketahui, Samwise Gamgee.
Bersama
pula Meriadoc Brandybuck alias Merry, Peregrin Took alias Pippin, Mithrandir
alias Gandalf Si Kelabu, Penjaga Hutan alias Strider, Boromir, Legolas, dan
Gimli yang mewakili rasnya masing-masing; Frodo pun memulai perjalanan
panjangnya yang hampir tak berujung. Ia mengarungi hampir seluruh Dunia Tengah
demi menginjakkan kaki ke Gunung Maut dan melebur cincin pembawa petaka. Di
tengah perjalanan, salah satu dari sembilan pembawa cincin terpengaruh oleh
kekuatan cincin itu dan meregang nyawa di tangan musuh. Rombongan terpecah
setelah mendapat serangan mendadak. Hingga akhirnya hanya Frodo dan Sam yang
keras kepala ikut serta.
Tokoh-tokoh
lain bermunculan sepanjang cerita. Para tokoh itu tidak nampak disisipkan
begitu saja ke dalam cerita karena dengan cermat setiap tokoh memiliki riwayat.
Sang penulis, JRR Tolkien, nampaknya tidak bisa membiarkan ada satu tokoh tanpa
penjelasan. Ada saja sisi lain, meski bukan tokoh sentral dari keseluruhan
plot, yang dijelaskan oleh Tolkien. Seperti para bangsawan ras manusia, para
bangsawan ras peri, ras hobbit, ras kurcaci, para penyihir, hingga orc.
Mungkin
penjabaran Tolkien inilah yang membuat trilogi LOTR sedikit sulit dipahami
saking rumitnya pertalian antartokoh. Sedikit membutuhkan usaha ekstra pula
demi memahami wilayah geografis yang digambarkan Tolkien. Seakan ia tidak benar-benar
menciptakan sebuah dunia baru dalam bukunya, tapi menggambarkan dunia yang
sebenarnya. Dengan lengkap ia menjelaskan penampakan bumi yang menjadi lokasi
perjalanan sehingga terasa sangat nyata.
The Return of The King |
Beberapa
tokoh yang saya sukai seperti Gandalf, Frodo, Sam, Merry, Pippin, Ent, dan
Eowyn terlihat menakjubkan dalam porsinya masing-masing. Saya justru tidak
begitu menyukai tokoh Aragorn dan Legolas karena terlalu “mulus”, seakan tanpa
cela. Secara garis besar, saya mengagumi trilogi LOTR. Kisah yang benar-benar
luar biasa dan sulit dibuat lebih baik lagi atau minimal disamai dengan karya
lain sejenis. Bagian akhir dari kisah ini paling menyita perhatian saya karena
awalnya saya bertanya-tanya mengapa Tolkien terkesan memanjang-manjangkan
kisahnya sehingga antiklimaks itu membosankan. Kemudian Tolkien berhasil
menyentuh saya dengan ending yang
mengejutkan. Memang ada beberapa bagian dalam buku yang tidak sesuai dengan
filmnya. Penutup kisahnya membuat saya mengharu biru walau itu bukan sesuatu
yang sepenuhnya menyedihkan. Tolkien membuat saya lebih bersyukur lagi karena
trilogi ini bersama The Hobbit saya
dapatkan secara gratis karena memenangkan Giveaway Hop dari sebuah blog J