media.services.cinergy.ch |
imdb.com |
Bird Box maupun A Quiet Place memiliki beberapa kesamaan. Pertama, kita bisa lihat dari posternya. Kedua film ini sama-sama memposisikan tokoh perempuan sebagai sang hero. Tokoh yang dimaksud sama-sama seorang ibu dan sama-sama memperjuangkan hidup anak-anaknya. Terasa familiar sekaligus sebuah kebetulan yang menarik, bukan? Tapi tentu saja ini bukan kebetulan belaka. Dunia yang tengah menggaungkan kesetaraan gender di berbagai lini tentu ikut memengaruhi dunia seni. Para sineas berbondong-bondong menciptakan karya seni yang menonjolkan kiprah perempuan. Perempuan tidak lagi digambarkan lemah, perlu perlindungan, atau selalu mengharapkan bantuan. Perempuan di layar lebar justru menjadi sosok yang tangguh; sosok yang menjadi model pemberdayaan diri sesamanya.
Alkisah A Quiet Place adalah sebuah masa di mana dunia tengah kacau dengan kehadiran makhluk yang memburu manusia melalui medium suara. Bahkan suara langkah kakipun dapat mengancam nyawa seseorang hingga sebuah keluarga memutuskan untuk menuangkan pasir pada rute perjalanan mereka sehingga dapat meredam bunyi tapak kaki. Sejak awal dimulai, suasan hening telah menyergap dan menciptakan ketegangan yang kuat. Ketiadaan suara justru menjadi kekuatan film ini.
Bird Box memiliki pendekatan kurang lebih sama yaitu ada makhluk yang memburu dan melenyapkan manusia. Bedanya, makhluk itu mengincar mata. Ketika seseorang telah melihat si makhluk maka ia akan memiliki dorongan untuk mengakhiri hidup. Dunia pun menjadi kacau ketika orang-orang melakukan bunuh diri masal dan tak ada pilihan kecuali menutup mata rapat-rapat. Mata yang sudah ditutup kain pun masih harus menghadapi risiko serbuan orang-orang gila yang tak terpengaruh dengan si makhluk.
A Quiet Place maupun Bird Box sama-sama berusaha menghancurkan stereotip yang berakat kuat pada masyarakat mengenai bagaimana sosok seorang ibu sesungguhnya. Ibu, dalam budaya patriarki, yang digambarkan menghamba pada suami sekaligus membutuhkan perlindungan dan pertolongan tidak dimunculkan dalam kedua film ini. Meski pada awalnya kedua tokoh utama perempuan memiliki pasangan dan mendapatkan bantuan dari pasangannya, bantuan tersebut tidak dikarenakan pembagian peran bahwa beginilah seharusnya lelaki dan perempuan.
Pada A Quiet Place pasangan suami istri Lee Abbott dan Evelyn Abbott digambarkan penuh cinta dan sama-sama rela mengorbankan diri selama dapat menyelamatkan nyawa ketiga anak mereka. Salah satu dialog paling fenomenal adalah ketika Evelyn menanyakan apa arti mereka sebagai orangtua bila mereka tidak mampu menyelamatkan nyawa anak-anak? Evelyn tidak menganggap bahwa suaminya harus menjaga ia dan anak-anaknya karena suami adalah kepala keluarga atau seorang lelaki yang dalam pandangan budaya patriarki haruslah kuat atau hebat. Evelyn justru menganggap ia dan suaminya memiliki tanggung jawab yang sama; memiliki keharusan yang setara karena itulah tujuan mereka hidup. Demi anak-anak.
Bahkan walaupun Evelyn dalam kondisi hamil tua, mengalami kontraksi, menginjak paku, dikejar makhluk menyeramkan, hingga susah payah melahirkan, ia menolak untuk menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang tak berdaya. Kita dapat melihat ekspresi kesakitan yang muncul dari wajahnya dan usahanya untuk tidak bersuara. Namun yang ada di pikiran Evelyn tetap anak-anaknya. Setelah suaminya meninggal, Evelyn tidak berlarut dalam duka dan tetap berjuang menjaga ketiga anak mereka hingga berani mengambil risiko untuk memancing para makhluk itu datang.
hellogiggles.com |
John Krasinki benar adanya ketika mengatakan tak ada orang lain yang dapat memerankan Evelyn selain istrinya sendiri, Emily Blunt. Emily Blunt tidak hanya berhasil menunjukkan kualitasnya sebagai seorang aktris tetapi juga sukses menghidupkan A Quiet Place. Ada banyak adegan yang membuat penonton menahan napas, meringis, bergidik, berdebar, hingga ikut merasakan resah dan panik ketika menyadari ia akan segera melahirkan. Saya tidak ingat ada film lain yang membuat saya ikut panik atau menarik napas melihat seorang perempuan yang akan melahirkan, bahkan tidak untuk Sandra Bullock dalam Bird Box. Emily Blunt berhasil membuat saya maupun penonton lain terkesima dan ikut merasakan perjuangannya sebagai seorang perempuan yang berada di antara hidup dan mati, antara melahirkan atau dibunuh makhluk menyeramkan.
Tentu saya juga tidak dapat mengesampingkan akting brilian dari John Krasinki dan bagaimana naskah film dibuat. Pertentangan batin seorang ayah yang kebingungan antara menyelematkan istri atau lari menuju anak-anaknya. Bagaimana kebimbangan Lee Abbott yang berpikir ia perlu mengajarkan anak lelakinya untuk menjaga keluarga sampai-sampai ia mengesampingkan anak perempuannya. Meski kemudian situasi berbalik dan sang anak perempuan yang tuna rungu itulah yang menjadi pahlawan, film ini telah sukses membingkai kekhawatiran seorang ayah yang begitu sayang anak hingga sempat salah melangkah karena tidak mampu menyampaikan rasa cinta yang ia punya.
Bagaimana dengan Bird Box? Sebenarnya kisah yang diangkat cukup menarik hanya saja skenario yang dibangun memang tidak seapik A Quiet Place. Sandra Bullock yang sebenarnya adalah aktris hebat tetapi bermain agak biasa-biasa saja di sini. Tidak ada getaran dalam dada penonton ketika melihat Sandra Bullock melahirkan bahkan membesarkan dua anak sendirian (yang sebetulnya tidak semua anak kandung, salah satunya adalah anak titipan). Namun kita tetap perlu mengapresiasi karakter Malorie.
dailymail.com |
Malorie yang tidak ingin menjadi ibu. Malorie yang tidak percaya orang lain atau dunia luar. Malorie yang tak merasa punya cukup rasa kasih sayang untuk orang lain. Namun ia kemudian membesarkan dua orang bayi yang salah satunya bukan anaknya sendiri. Ia juga berjuang untuk mencarikan anak-anak itu makan dan menjaga mereka sepenuh hati. Perkembangan karakter Malorie dalam Bird Box cukup menyentuh. Karakter Malorie telah merepresentasikan dengan baik perempuan-perempuan di luar sana yang tidak siap hamil maupun membesarkan anak. Perempuan-perempuan yang kerap diberi stigma negatif oleh masyarakat sebagai orang yang tidak bertanggung jawab karena mengingkari insting sebagai seorang ibu. Padahal, Malorie adalah manusia biasa yang juga memiliki kekhawatiran dan ketakutan dalam hidupnya. Tidak semua perempuan menginginkan keturunan hal itu bukanlah suatu hal yang salah.
Malorie menolak memberi mimpi-mimpi palsu kepada Boy dan Girl (nama kedua anaknya) karena ia ingin agar mereka tidak terjebak dalam harapan semu. Malorie ingin menyiapkan Boy dan Girl dalam kehidupan yang memang sudah dalam kondisi tak pasti dan menyedihkan. Walaupun Girl bukanlah anak kandungnya, Malorie tidak membedakan perlakuan. Ia justru selalu teringat dengan ibu dari Girl yang membuatnya terus menjaga Girl mati-matian.
Setidaknya Evelyn dan Malorie membuka mata kita untuk memandang seorang ibu dengan lebih manusiawi. Tidak perlu ada stigma ini itu atau berbagai penghakiman yang tak perlu. Seorang ibu sama saja seperti manusia lainnya, memiliki kelebihan maupun kekurangan. Menjadi ibu bukan berarti tejebak dalam kotak-kotak peran tertentu. Evelyn maupun Malorie telah mendefinisikan dirinya masing-masing mengenai bagaimana sosok seorang ibu menurut mereka. Mereka menjalaninya dengan cara berbeda dan tak selalu sempurna. Namun mereka adalah pahlawan sesungguhnya.