The Bare Minimum


Buat kamu, ini semua adalah hal biasa. Buat ODGJ seperti aku, semua ini luar biasa.

Ingat waktu aku nulis empat buah upcoming post yang kujanjikan? Aku janji menulis empat artikel yaitu

  • Tuhan, Kenapa Aku BPD?
  • Ke Mana Mencari Bantuan sebagai Korban Kekerasan Seksual?
  • Bagaimana Memilih Psikiater yang Tepat Untukku
  • The Ugly Truth About Freelancing: Handling Clients
  • Bukuku (yang masih butuh revisi sana sini)

Aku baru sadar, ada yang kurang. Kalau ini series, sebelum ke titik mencari psikiater harusnya aku menulis satu artikel dulu. Yaitu point of view kehidupan sebagai ODGJ. Kenapa aku punya label ODGJ? Awalnya gimana dan kenapa?

Namun aku memutuskan, bagaimana kalau aku menulisnya dengan pendekatan berbeda. Yaitu hal-hal yang aku syukuri walau aku ODGJ. Biar orang-orang ga takut coming out sebagai ODGJ. Biar orang ga takut ke psikiater.

*mengetik ini sambil menitikkan air mata*

Aku sadar aku punya gangguan jiwa dari kecil kok. Di bawah umur 9 tahun, kesadaran itu sudah muncul. Aku ingat tentang pergumulan isi kepalaku waktu jalan kaki ke TPA.

Kan biasanya anak tahun 90-an sore-sore itu ke TPA buat belajar mengaji.

Aku ingat dalam hati aku bilang begini. "Ya Allah, kenapa ya isi kepalaku begini? Orang lain hidup begini juga ga ya? Emang normal ya hidup kayak gini? Hidup kok ga enak."

Aku selalu merasa marah. Sedih. Putus asa. Takut. Cemas. Tidak berdaya. Semua perasaan itu menghantui isi kepalaku seumur hidupku.

Keinginan untuk mati pun sudah ada sejak usiaku 6 tahun. Kenapa aku ingat persis tahunnya? Karena saat itu aku menonton Kera Sakti. Saat itu Rosa dengan lagu Tegar sedang booming. 

Awalnya kukira usia lima tahun, tapi kalau berdasarkan dua data di atas.... yang benar usia enam tahun.

Aku mau menulis daftar bare minimum yaitu hal-hal yang sebenarnya ya standar. Hal yang sudah seharusnya aku terima. Sudah seharusnya terjadi.

Namun, karena aku ODGJ, menurutku semua hal ini amat-sangat-luar-biasa-sekali. Kenapa? Karena stigma yang masih besar terhadap orang dengan gangguan jiwa. Jadi kupikir ini penting.

Lagian.... aku harus bersyukur kan? Apa pun yang terjadi, tidak ada hal yang tidak bisa aku syukuri. Bahkan napasku ini adalah dari Tuhanku, kan?

Oke mari kita mulai.

Punya Uang

Kalau tidak punya uang, aku tidak bisa berobat. Karena itu aku sangat bersyukur, aku bisa bersandar pada otakku. Walau aku sakit, aku bisa mencari uang dan punya uang. Walau aku sakit, aku bisa menafkahi diriku. Walau aku sakit, aku masih bisa mengandalkan aku.

Biasanya aku merasa cemas jika terlalu lama sakit. Karena aku takut nanti tidak punya uang. Kalau tidak punya uang nanti tidak bisa beli obat.

Kalau tidak beli obat nanti kondisiku memburuk. Kalau memburuk nanti pikiranku makin tidak terkendali dan aku makin gila. 

Aku paling takut kehilangan diriku sendiri…..

Punya Teman

Aku punya lima sahabat. Kami saling kenal sejak 2011. Jarang ketemu (karena sudah banyak yang menikah dan pindah). Namun kami masih bisa bertemu satu atau dua tahun sekali. 

Mereka tahu aku gangguan jiwa. Mereka tahu betapa struggling-nya aku menjalani hidup. Mereka menemani aku sejak lama dan sudah melihat aku menangis tak terhitung jumlahnya.

Mereka juga sudah melihat aku sakit, muntah, hampir pingsan, masuk rumah sakit, dan lain-lain. Kisah cintaku, patah hatiku, sampai dosa-dosaku juga mereka tahu HAHA

Dan mereka tidak pernah melihat aku kecil karena aku ODGJ. Mereka sayang aku….

Tapi kalo BPD-ku strike again pasti otakku going spiral. Terus bilang ke diriku sendiri, “Ih ga ada yang sayang kamu. Semua ga suka sama kamuuuuu.” 

Punya Bos dan Teman Kerja

Sebetulnya punya kerjaan sih, tapi kerja doang sambil dikucilin mah stres dong saya. Untungnya di kantor yang sekarang semua baik sama aku. Aku dipanggil non, sayang, baby sama orang-orang. Dibeliin baju tidur, disayang-sayang. Long story short, aku dimanja.

Teman-teman kerjaku follow aku. Mereka tahu aku tiap bulan ke rumah sakit buat ketemu dokter. Aku minum obat. Aku begini dan begitu. 

Bahkan pas kasus pelecehan oleh dokter itu mereka juga support. 

Dengan labelku sebagai ODGJ ini mereka juga tidak pernah meragukan kapasitasku atau kapabilitasku. Tidak pernah melihatku sebagai orang aneh. Pokoknya memperlakukanku seperti kebanyakan orang. Kantor ini rezeki banget buatku.

Bosku, terutama yang laki-laki, secara garis besar sangat menghargai pendapatku. Dia hampir selalu mengikutsertakan aku dalam mengambil keputusan apa pun. Bahkan dia bisa dibilang percaya aku 99%. Seakan-akan di matanya aku tidak pernah salah atau bohong.

1%-nya ya karena aku yakin manusia mana yang percaya manusia lain 100% wkwkwk

Kenapa hal sesepele ini rezeki? Plis banget laaah aku pernah mengalami banyak kejadian parah di kantor-kantor lain. Kapan-kapan aku tulis blog post-nya wkwk

Gym

Jadi beberapa orang di gym follow aku. Sebenarnya aku agak cemas karena kan aku sangat jujur mengenai kondisi kejiwaan. Aku sedikit takut akan dijauhi atau didiskriminasi. Oh ternyata… tidak.

Tentu, aku tahu ada beberapa yang membicarakan aku. Aku dengar sendiri tanpa sengaja. Sedih dikit. Namun secara garis besar, aku tidak dikucilkan. Ini sangat melegakan untukku karena mereka pun sebenarnya tidak punya kewajiban baik padaku.

Maksudku kami saling tidak punya kepentingan. Kami bukan teman kuliah atau rekan kerja. Saling diam pun tidak apa-apa. Namun mereka memilih ramah padaku dan itu sudah jauh lebih dari cukup.

Aku kadang merekam diriku saat sedang olahraga di kelas. Tentu saja kadang terekam ketika aku relapse. Ekspresi wajahku terlihat. Aku cukup… berterima kasih dengan para coach yang tidak risih atau menghindariku karena aku relapse. Walau mungkin isi kepala mereka bertanya-tanya kenapa aku seperti ini.

Sepupu

Sebagian besar sepupuku sudah menikah. Bahkan suami atau istrinya sepupuku pun follow aku (padahal aku ga minta). Tahu-tahu difollow. Jadilah mereka tahu kalau aku ODGJ dan lain-lain. Tidak dijauhi pun sudah luar biasa rasanya bagiku. Mereka tidak takut interaksi denganku ketika lebaran pun sudah hebat.

Mereka tidak pernah membicarakan atau bertanya tentang kondisiku. Mereka selalu membicarakan hal-hal yang netral. Bisa dibilang mereka menjaga perasaanku. 

Mereka juga membiarkan anak-anak mereka berinteraksi denganku. 

Tentu kamu mungkin berpikir masalahku “cuma” depresi. Aku kan bukan skizofrenia atau gangguan jiwa lain yang mungkin bisa mendadak agresif. 

Namun tetap saja mengingat stigma yang kental ditambah aku yang secara terbuka memberi tahu diagnosisku banyak…. Aku mengapresiasi tidak ada satu pun dari mereka yang memperlakukanku berbeda.

Wawancara

Aku belum pernah mendapatkan diskriminasi ketika wawancara kerja atau bekerja di manapun karena seorang ODGJ. Kalaupun aku punya masalah di tempat kerja lama, itu murni karena bosnya atau kantornya aja red flag wkwk. Aku belum pernah mendapatkan diskriminasi. Karena kembali lagi, aku sangat terbuka dengan kondisiku. 

Mentee

Salah satu sumber penghasilkanku adalah mengajar. Aku punya banyak mentee. Uniknya, aku tetap mendapatkan peserta kelas maupun mentee private mentoring. Walau jelas-jelas aku post tentang kondisi mentalku di media sosial.

Mereka tidak pernah mempertanyakan kapabilitas dan kredibilitasku dalam mengajar. Ini sesuatu yang awalnya kukira akan terjadi. Mengingat kalau buka kolom komentar konten viral tentang ODGJ, isinya itu-itu saja. Mereka biasanya bahas

  • Kok ODGJ bawa kendaraan
  • Kok ODGJ keluar rumah
  • Kok ODGJ menikah
  • Kok ODGJ punya anak

Seakan ODGJ itu benar-benar tidak bisa apa-apa. Aku cukup terkejut followerku, peserta kelasku, dan mentee-ku sangat suportif. 

Apalagi ya? Oh mungkin setelah kasus pelecehan seksual oleh dokter itu. Tidak ada yang meragukan kesaksianku sebagai korban. Kukira, orang akan berpikir aku delusional atau sejenisnya. Ternyata mereka percaya dan menganggap omonganku serius. Tak kusangka.... Segitu dulu ceritanya. Nanti aku sambung lagi.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama