Linda dan Tulangnya

Semua yang aku tulis di sini berdasarkan diagnosis dokter ya. Aku menulis untuk menghapus stigma, bukan minta dikasihani. 

(Maaf, tulisan ini baru direvisi 22.42 karena banyak kesalahan di dalamnya).

Oligodontia

Saat itu aku berusia 14 tahun dan masih punya gigi susu. Sebagian besar gigiku adalah gigi susu. Ada sih, gigi dewasanya.

Namun, sebagian gigi susu yang copot tidak berganti menjadi gigi dewasa. Giginya malah tidak tumbuh.

Sebaliknya, beberapa gigi dewasa di rahang bawah tumbuh abnormal. Ukurannya kecil, mahkotanya seperti gerigi, dan celah antargiginya besar. 

Jadi, tampilan gigi rahang atas dan rahang bawahku terlihat berbeda. Perbedaannya cukup mencolok.

Apakah aku di-bully? Tentu iya. Aku terlihat jelek dan mencolok.

Bagaimana aku menjelaskan kondisi seperti ini pada anak-anak seumuranku? Mereka hanya tahu caranya mengejek. 

Lagipula saat itu aku belum tahu apa yang terjadi padaku. Setiap kali ke dokter (yang berbeda-beda) mereka selalu menyuruhku sabar. Katanya, nanti juga gigi susunya copot dan akan berganti menjadi gigi dewasa.

Bertemu Dokter

Kesabaranku habis. Aku memaksa orang tuaku agar dibawa ke dokter gigi.

Aku diperiksa oleh dokter gigi di Rumah Sakit Salak. Kemudian aku dirujuk ke RSUD Kota Bogor untuk rontgen mulut. Akhirnya diagnosisnya final. Aku mengalami kondisi medis langka yang disebut sebagai oligodontia.

Oligodontia adalah anomali perkembangan gigi yang ditandai dengan tidak adanya 6 atau lebih gigi permanen

Kalau mulutku di-rontgen akan terlihat bahwa di dalam gusiku tidak ada akar gigi. Karena itu gigi susuku tak copot atau berganti menjadi gigi dewasa. Karena benih gigi dewasanya tak pernah ada.

Nah, masalahnya, gigi susuku sendiri juga dalam kondisi rusak. Sehingga saat itu aku…. tidak menarik secara visual. Ini membuat aku minder. 

Karena gigi susuku juga rusak, keputusan pun diambil. Semua gigi susu yang tersisa dicopot oleh dokter. Tentu dengan cara bius lokal.

Sehingga sekarang aku punya 9 celah kosong di gusi yang seharusnya diisi gigi.  

Kemudian aku dibuatkan gigi palsu. Jadi sudah 18 tahun aku hidup dengan gigi palsu sekarang.

Harganya mahal. Aku bisa menghabiskan hampir 10 juta rupiah untuk ganti gigi. BPJS hanya meng-cover sangaaat kecil biayanya. Asuransi swasta tidak ada yang cover.

Aku sudah ganti kira-kira lima kali. Biasanya karena patah. Inilah alasan aku harus makan yang empuk-empuk.

Kelainan Genetik

Singkat cerita, aku ganti dokter banyak sekali. Namun tak ada yang pernah benar-benar menjelaskan kondisiku dengan baik. Aku hanya tahu bahwa aku cacat.

Oh ya ini adalah kelainan genetik. Artinya, aku memang terlahir seperti ini. Aku belum pernah tes jauh lebih dalam, tapi ada beberapa hipotesis mengenai kasusku.

Hipotesis yang paling mendekati dan menggambarkan kondisiku adalah ectodermal dysplasia (ED). Ini adalah sekelompok kelainan genetika langka yang mempengaruhi perkembangan ektoderm yaitu lapisan embrio yang membentuk

  • Kulit
  • Kuku
  • Gigi
  • Rambut

Ada beberapa gejala umumnya, aku list di bawah ya. Kamu tidak harus memiliki semua gejala ini untuk memiliki kondisi ED.

Gejala yang ada padaku adalah masalah gigi dan kulit. Kulitku sangat kering. Saat masih kecil, kulitku membentuk pola seperti lumpur yang mengering dan retak di musim kemarau.

Gejala Umum

  • Hilang banyak gigi (oligodontia) atau semua gigi (anodontia).
  • Gigi yang ada sering berbentuk kecil, kerucut, atau bergerigi.
  • Pertumbuhan gigi terlambat (erupsi lambat).
  • Celah antar gigi besar karena jumlah gigi sedikit.
  • Kadang gigi mudah rapuh.
  • Rambut kepala tipis, jarang, mudah patah.
  • Alis dan bulu mata bisa jarang atau tidak tumbuh.
  • Rambut tubuh sangat sedikit atau tidak ada.
  • Hypohidrosis = jumlah kelenjar keringat sedikit.
  • Anhidrosis = tidak ada kelenjar keringat sama sekali.
  • Kulit kering, tipis, pecah-pecah.
  • Bisa ada ruam, bercak, atau warna kulit tidak rata.
  • Pertumbuhan kuku tidak normal: rapuh, tipis, tebal abnormal, atau bentuknya tidak rata.
  • Dahi menonjol.
  • Hidung “pelana” (bridge hidung rata atau cekung).
  • Bibir tebal.
  • Pipi tampak cekung karena gigi sedikit.

Skoliosis

Aku masih ingat betul kejadian ini. Waktu itu aku SMP dan sedang lomba baris berbaris. Orang yang berdiri di depanku memiliki tubuh skoliosis. Salah satu bahunya lebih tinggi.

Aku berpikir dalam hati, “Wah, dia skoliosisnya parah.” Karena perbedaan tinggi kedua bahunya mencolok.

Sampai rumah aku berkaca di kamar orang tuaku. Kacanya besaaar sekali. Aku baru sadar ketika berkaca. Aku juga skoliosis.

Namun, aku baru mendapatkan diagnosisnya akhir tahun 2024. Tepatnya setelah mendadak aku masuk UGD karena “lumpuh”. Leherku sangat-sangat sakit dan aku tidak bisa bergerak.

Kukira aku akan cacat. Aku takut sekali. Apalagi rasa sakitnya luar biasa. Aku sampai menangis dan tidak bisa tidur.

Ibuku mengira aku kena stroke. Dokter lalu memeriksa dan menyimpulkan bahwa aku mengalami herniasi diskus alias penebalan bantalan tulang leher. Bahasa awamnya, saraf kejepit.

Dari situlah aku menjalani MRI, CT-Scan, sampai rontgen beberapa kali. Ketahuan juga bahwa aku skoliosis. Hasil beragam tes itu menunjukkan tulangku miring 9 derajat.

Karena aku sangat-sangat kesakitan, aku terus disuntikkan obat. Untunglah dalam 24 jam aku bisa mulai bergerak lagi.

Setelah itu prosesnya panjang. Aku menjalani rangkaian fisioterapi baik di rumah sakit (BPJS) maupun klinik (biaya pribadi). Aku sudah mengeluarkan uang sangat banyak karena hal ini.

Muncul pula diagnosis lain ketika aku fisioterapi di klinik. Pertama adalah facet joint inflammation dan kedua dalah taut band. 

Facet joint inflammation adalah peradangan pada sendi faset yang menghubungkan tulang belakang di leher. Sehingga ketika diraba, seperti ada yang menonjol keluar.

Sementara taut band adalah ototku yang mringkel/membatu di bahu kiri. Keduanya terjadi karena dampak dari skoliosisku.

Setelah beberapa bulan masih merasa sakit dan hampir putus asa, dokter memintaku untuk melakukan dua hal. Pertama, dry needling yaitu menusukkan jarum tipis ke titik-titik yang sakit pada otot. 

Kedua, aku diminta berenang. Itulah yang kemudian menjadi cikal bakal hobiku berenang dan membuatku ada di kolam seminggu sekali. 

Penutup

Aku paham ketika menuliskan blog post ini risikonya ada dua. Pertama, orang akan jijik denganku. Terutama setelah tahu aku pakai gigi palsu.

Kedua, akan ada orang yang berpikir bahwa aku over sharing atau caper. Aku gapapa dianggap begitu. Lagian ini blog aku.

Semoga orang-orang yang mengalami kondisi yang sama menemukan blog post ini. Lalu mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Sending virtual hugggg!


Komentar