Bagi saya, masih jarang film produksi dalam negeri yang
menyorot keberagaman suku dan agama. Apalagi sebagian orang beranggapan
perbedaan agama cenderung sensitif. Namun saya angkat dua jempol untuk sang
sutradara, Hanung Bramantyo, yang memotret realita ini tanpa mencoba memihak.
Film ini berpusar pada kehidupan tiga keluarga. Pertama,
Tan Kat Sun seorang pemilik warung makan Cantoon Chinesse Food yang
mempekerjakan Menuk, seorang muslimah taat. Menuk bersuamikan Soleh, pemuda
rajin beribadah yang pengangguran. Dulu Menuk pernah menjalin hubungan dengan
putra Pak Tan Kat Sun bernama Hendra. Alhasil Hendra pun membenci Soleh dan
bersikap sinis terhadap Menuk. Ia juga sering adu mulut bahkan berkelahi dengan
pemuda di sekitar tempat tinggalnya akibat diledek sipit karena ia etnis Tionghoa.
Konflik kedua berkaitan dengan seorang janda bernama Rika
yang berpindah keyakinan. Keputusan Rika tersebut mempengaruhi kehidupan
putranya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Putra Rika merasa kesal pada
sang ibu karena mendengar banyak orang melarang ibunya masuk ke masjid. Namun
Rika tetap mengantar jemput putranya mengaji di masjid. Rika berpegang teguh
pada prinsipnya dan tidak merasa harus mendengarkan apa kata orang. Rika
sendiri menjalin pertemanan dengan Surya yang selama sepuluh tahun hidupnya
mendapat perang figuran di film. Suatu saat Surya yang seorang muslim mendapat
tawaran menjadi pemeran utama dalam drama Natal si sebuah gereja sebagai Yesus.
Konflik ketiga menyorot kehidupan Menur dan Soleh.
Sebagai pengangguran, Soleh tidak hanya menyadang beban rasa malunya karena
tidak mampu menafkahi keluarga. Ia pun menghadapi hinaan Hendra. Kepercayaan
diri Soleh terhadap Menur mulai runtuh. Kemudian Soleh menuntut cerai Menur.
Menurutnya, Menur bisa mencari lelaki yang lebih baik akibat kegagalannya
menempati posisi seorang suami, ayah, sekaligus kakak.
Permasalahan yang dihadapi para tokoh cukup kompleks.
Bagaimana Menur yang berusaha membesarkan hati Soleh agar tetap merasa dihargai
sebagai seorang suami. Di saat bersamaan, Menur berusaha tetap menjalin
silaturahmi dengan Hendra yang merasa sakit hati akibat hubungan mereka di masa
lampau. Hendra berpikir Menur terlalu bodoh menikahi Soleh hanya karena alasan
Soleh yang taat agama. Di awal hingga pertengahan film diperlihatkan sosok
Hendra yang keras, tidak mau tahu, dan kurang menunjukkan sikap toleransi.
Namun hal ini berubah ketika ia kehilangan ayahnya. Hendra yang menyesal
kemudian menemukan jawaban kenapa ayahnya begitu menghargai perbedaan.
Satu hal yang saya sukai dari film Tanda Tanya adalah
kejujuran dalam menampilkan berbagai realita yang ada. Semisal, ejekan yang
berbau SARA. Memang mengejek dengan muatan SARA tidak baik tapi nyatanya masih
ada sebagian masyarakat yang bersikap membeda-bedakan. Seperti tagline film
ini, masih pentingkah kita berbeda
sebab perbedaan merupakan suatu hal yang wajar dan seharusnya disikapi wajar
pula. Kita tidak perlu mempermasalahkan perbedaan atau merasa risih dengan
mayoritas-minoritas. Seperti Menur yang bekerja pada keluarga Tionghoa, Soleh
bersama organisasi agama Islam yang menjaga gereja ketika perayaan Natal, atau
Surya yang mendapat perang utama sebagai Yesus. Bahkan Surya sempat menolong
Rika untuk berperang sebagai Sinterklas demi menghibur seorang anak kecil yang
sakit parah.
Sebagai sedikit ganjalan bagi saya adalah tokoh Menur yang
terlalu baik. Menurut saya, akan lebih menarik―atau manusiawi―bila pergulatan
batin seorang Menuk dijelentrehkan lebih kuat, tidak sekedar menangis. Tokoh Menuk
yang diperangkan Revalina S. Temat tergambar sebagai seorang perempuan yang
sangat sabar, tabah, dan pemaaf. Tokoh-tokoh lain tak kalah menarik. Baik Rika
(Endhita), Hendra (Rio Dewanto), Soleh (Reza Rahardian), Tan Kat Sun (Hengky
Soleman), dan Surya (Agus Kuncoro) tampil apa adanya. Rika, meski ia keras
dalam mempertahankan prinsip dan tidak mau terusik oleh pendapat orang tetaplah
seorang ibu yang mau menjadi terbaik bagi anaknya. Hendra yang keras hati
akhirnya belajar demi meneruskan bisnis sang ayah dan berubah. Soleh yang
awalnya hampir menyerah dalam pernikahannya, belajar dari Menur untuk memaafkan
dan menerima perbedaan.
Akhir dari film ini mengejutkan saya dan terasa sangat
manis. Perbedaan merupakan realita, lumrah, ada, dan dapat kita temui di mana
saja. Perbedaan tidak memisahkan kita. Perbedaan membuat kita belajar
menghargai, menerima, dan berkompromi. Sama dengan yang dikatakan Hendra dapa
Menur, "Kamu percaya kan manusia bisa berubah?" Film ini membuka
pandangan kita menjadi lebih luas. Film ini dapat membuat kita lebih memahami
hal yang beraneka.
Film adalah hasil karna seni yg rekayasa. Namun dari film bisa mmpengaruhi gaya hidup. Perbedaan adalah warna-warni realita. Peace, love and we for us.
BalasHapusSedikit kutipan lagu saya. Mudahan bermanfaat.
http://sharelagu.wapka.me/site_detail-mp3.xhtml?get-id=1402
hehe tengkyu lagu dan kunjungannya :)
Hapus