"Pak, sudah waktunya pindah." Pak Kar mematung
di depan foto mendiang istrinya yang tergantung di dinding. Cuma itu
satu-satunya potret sang istri yang ia miliki. Lama ia tidak bicara kecuali
membiarkan matanya merekam tiap titik dalam foto dan berusaha mengembalikan
memori. Tentang istri yang ia cintai. Tentang rumah yang ia tinggalin. Tentang
kehidupannya, masa bahagianya, pencapaiannya, rasa penuh sykukurnya. Akhirnya
ia rela. Dalam hatinya ia mencoba melepaskan jepit-jepit yang mengempit. Ketika
pandangannya hanya terfokus pada satu hal dan pikirannya melayang bukan hanya
wajah istrinya yang rupawan.
"Pak," desak Boh. Boh adalah pelayan setia Pak
Kar. Hingga tuannya telah lanjut usia dan sering pulang jalan pulang, ia tetap
setia merawat. Menyediakan makanan yang lunak untuk mulut tanpa gigi dan
membacakan koran bagi mata yang rabun. Seminggu yang lalu, sebuah perusahaan
membeli tanah di sekitar wilayah itu, termasuk rumah Pak Kar. Seluruh rumah di
situ akan dirobohkan lalu dibangun apartemen mewah. Katanya, akan ada lebih
banyak orang yang bisa tinggal meski di sepetak tanah. Karena orang-orang akan
tinggal dalam bangunan yang memiliki banyak lantai. "Sebentar lagi,"
pinta Pak Kar dengan suara serak.
"Ini cuma rumah pak. Bapak bisa tinggal di mana saja.
Uang pensiun bapak jauh lebih dari cukup untuk mengontrak sebuah rumah
sederhana di pinggir kota. Bapak masih bisa makan enak dan berlangganan koran.
Jangan khawatir, pak. Dengan menjual rumah ini, bapak telah membuka peluang
bagi lebih banyak orang untuk mempunyai tempat tinggal. Bapak kan tahu, harga
tanah di pusat kota terbilang mahal. Keluarga muda yang baru mulai membangun
kehidupan rumah tangga pasti kesulitan bila harus membayar kredit rumah tipe
mungil yang cicilan perbulannya bisa menghabiskan tiga per empat gaji. Saya
paham kok, ini kesempatan bapak menghabiskan masa tua sembari menikmati
kenangan indah bersama mendiang istri. Tapi bapak tidak kehilangan kenangan itu
cuma karena pindah rumah."
Kata-kata seorang perempuan yang rajin bertandang ke
rumah Pak Kar sejak setahun belakangan benar-benar mengusik ketentraman batin
Pak Kar. Di satu sisi, ia enggan meninggalkan rumah yang telah ia beli dengan
susah payah bersama sang istri. Mengumpulkan sedikit demi sedikit dengan cara
menggabungkan gaji mereka berdua hingga terwujud cita memiliki rumah sederhana
yang dekat dari tempat kerja. Walaupun tidak memiliki anak, perkawinan mereka
bahagia. Pak Kar merasakan kelengkapan luar biasa. Ia tidak pernah iri apalagi
mendengki melihat rekan-rekan sejawatnya menyelenggarakan pernikahan bagi anak
atau acara sunatan bagi cucu. Baginya, ia patut bersyukur mendapatkan seorang
istri berhati mulia. Istri yang tidak pernah mengeluh dan lebih senang
menguatkan suami. Istri yang tidak menyerah merawat Pak Kar yang sakit-sakitan
ketika memasuki usia empat puluhan.
Di sisi lain, ia kasihan melihat pasangan-pasangan muda
yang kesulitan mendapatkan rumah dengan harga murah. Ia tahu benar, banyak
karyawan di tempat kerjanya yang baru menikah hanya mampu mengontrak rumah dan
letaknya jauh dari pusat kota. Pak Kar teringat perjuangannya bersama sang
istri dulu. Mereka menguatkan diri, berpuasa selang seling demi menghemat uang
belanja. Mereka menguatkan diri, kadang tak berlebaran di rumah orangtua.
Bersama, berdua, telah menentramkan Pak Kar.
Setelah menimbang setahun penuh, mencoba mengingat apa
alasan terkuatnya meninggalkan rumah, Pak Kar menyerah. "Boh, saya dulu
sakit-sakitan. Saya pernah opname hampir sebulan. Kata dokter, salah satu
ginjal saya menurun fungsinya. Istri saya memutuskan pensiun dini. Dia ingin
fokus menemani saya. Waktu saya stres karena takut dipecat, istri saya malah
memarahi. Katanya, rezeki itu dari Tuhan. Walaupun saya dipecat, saya masih
mampu cari kerja lagi. Bahkan istri membantu mencari ide untuk buka usaha. Asal
saya sehat, dia tidak peduli kalau saya dipecat atau jadi pengangguran. Untung
dia pintar berinvestasi. Sekarang, tiap bulan saya bisa menikmati perjuangan di
masa muda. Rekening saya tidak pernah kosong."
"Lalu pak?"
"Akhirnya saya sembuh.
Saya tidak tahu bagaimana ceritanya sampai seluruh penyakit yang menyerang saya
menjadi lumpuh. Saya seperti terlahir kembali, terperangkap dalam tubuh tua
tapi punya semangat muda. Saya berjuang menaikkan taraf ekonomi kami kembali
seperti sebelum sakit."
"Bapak hebat."
"Benar, Boh. Saya pun
bangga pada diri saya sendiri. Tapi sejak itu saya justru merasa kacau."
"Kenapa pak?"
"Dunia seakan terbalik. Ketika saya mencapai puncak
kesuksesan untuk kedua kalinya, istri saya sakit keras. Tanpa pertanda atau
aba-aba, dia meninggalkan saya. Sekarang saya seorang diri. Saya tidak punya
apa-apa selain tubuh tua dan uang pensiun di rekening bank. Tapi itu bukan hal
yang terlalu penting. Saya cuma mau dekat dengan istri saya." Pak Kar
melangkah keluar sembari memeluk foto istrinya. Sekali lagi, ia berbalik,
memandang ke dalam. Seakan ada istrinya di sana, tengah menantinya. Ia
tersenyum. Ia akan rela sepenuhnya. Istrinya tetap hidup dalam hatinya. Dan ia
tak perlu merasa meninggalkan istrinya. Tapi rumah ini bukan istrinya. Rumah
ini perjuangannya. Atapnya. Tempatnya berlindung.
Sebulan kemudian, seluruh rumah di wilayah itu telah rata
dengan tanah. Termasuk rumah Pak Kar. "Bagaimana perkembangan proyek
apartemen di sini?" tanya Pak Kar pada seorang pekerja. "Beberapa
hari lagi akan dilakukan peletakan batu pertama, pak." Pak Kar memandang
tanah tempat dulu bekas rumahnya berdiri. Tidak ada apa-apa di sana kecuali
tanah dan tanah.
Pak Kar pulang ke rumah kontrakannya. Ia tidak
mengucapkan sepatah katapun pada Boh. "Pak, makan? Saya sudah masak buat
bapak," ujar Boh. Namun Pak Kar menggeleng. Setelah beberapa hari, di hari
tepat acara peletakan batu pertama akan dilakukan, Pak Kar datang ke tanah di
mana rumahnya pernah berdiri. Tubuhnya yang rapuh berjalan merambat perlahan.
Wajahnya yang kuyu tanpak kurang makan. Tapi langkah Pak Kar tak mapak
istirahat saja di rumah," pinta Boh. Pak Kar menggeleng. "Aku mau
melihat rumahku yang dulu." Jangtungnya berdebar-debar. Ia merasa
kelelahan. Keringat dingin mulai mengucur. Pak Kar merasa tidak kuat.
"Boh, sini," panggil Pak Kar. "Tuntun saya ke sana." Meski
matahari begitu terik dan udara kering semakin membuat suasana panas, Pak Kar
tetap berkeras. Dadanya naik turun dengan kepayahan. "Bapak tidak
kuat," ujar Boh. "Siapa bilang?"
Orang-orang telah berkumpul dan ingin menyaksikan
peletakan batu pertama pembangunan apartemen. Pak Kar telah sampai. Aku sampai,
bisiknya lirih. Ia menoleh pada Boh, "Setelah ini, kamu bebas. Kamu tidak
perlu lagi melayani saya. Saya sudah capek hidup sendirian. Saya kangen istri
saya. Saya cuma mau pulang ke rumah."
"Maksud bapak?"
Tubuh Pak Kar limbung. Ia
jatuh. Orang-orang menoleh. Boh terlihat panik. Terjadi keributan. Namun wajah Pak Kar terlihat
damai. Ia bergumam meski matanya terpejam, meski air matanya menetes. Aku
kembali, aku pulang, ke tempat yang sama, seperti istriku.