Tiga bulan sekolah di sini. Baru sekarang Olivia
benar-benar mengobrol dengan seorang teman tanpa embel-embel tugas sekolah.
Teman sebangkunya, Nana, hampir seminggu tidak masuk sekolah karena sakit. Pagi
ini ia masuk. Masih dengan wajah pucat dan sweater yang melapisi bagian luar
seragam putih abunya.
"Hai, Nana! Sudah sembuh?" sapa Olivia. Dalam
hati ia harap-harap cemas, mencoba menebak respon Nana. Ia hampir tak pernah
terlibat pembicaraan personal dengan teman-teman sekelasnya. Mereka sudah tahu
Olivia yang lebih suka berdiam di kelas ketika jam istirahat dan selalu berada
di barisan paling belakang saat upacaran bendera atau kegiatan olahraga. Namun
mereka masih berbaik hati menyapanya setiap pagi atau membagi botol air minum
bila melihat botol Olivia sudah kosong.
"Hai, Olivia. Ya, sedikit. Sedikit lebih baik."
Nana tersenyum lemah. "Kamu sakit apa?" Olivia mendekat. Nana anak
yang baik hati. Ia sering menawari Olivia untuk membantunya menghabiskan bekal
makan siang. Ia juga berulang kali membantu Olivia ketika diminta Bu Retno
mengerjakan soal matematika di depan kelas. Olivia tidak memahami matematika
seperti ia tidak memahami bahasa Jawa. "Gejala tipus. Aku kecapekan. Ibuku
bilang, aku harus istirahat dari Paskibra." Olivia menganguk-angguk. Anak
paskibra memang sibuk. Menurut Olivia, latihan fisik mereka sangat keras.
"Selama aku tidak masuk, kamu duduk dengan
siapa?" Nana balik bertanya. Olivia tersenyum malu, "Sendirian."
Nana mendesah. "Kamu terlalu pemalu. Jangan takut mencari teman baru. Apa
kamu tidak suka punya banyak teman di sini? Coba kamu bergabung, jangan
terus-terusan menyendiri. Mereka semua baik, kok. Mereka tidak akan
menertawakan kamu hanya karena kamu pakai bahasa Indonesia." Percakapan
mereka terhenti melihat Bu Retno memasuki kelas. "Sudah mengerjakan
pe-er?" bisik Nana. "Hah? Yang mana?" cicit Olivia. Nampaknya
ada yang akan dihukum di depan kelas karena tidak mengerjakan pe-er hari ini.
***
Sepulang sekolah, wajah Olivia tampak kusut. Bu Retno
telah memarahinya habis-habisan. Hanya ia yang lupa mengerjakan pe-er. Selain
itu, ia tidak membawa buku pelajaran. Waktu Bu Retno memeriksa, buku catatannya
juga tidak lengkap. Kesalahannya menjadi komplet. Suasana hatinya semakin buruk
ketika mengikuti mata pelajaran ketrampilan, hanya dia yang tidak punya
kelompok. Karena kasihan, Nana mengajaknya bergabung. Mereka mendapat tugas
dengan tema inovasi.
Hari ini Mas Wahyu tidak bisa menemaninya pulang.
Anak-anak kelas tiga akan mendapat materi tambahan demi menghadapi ujian
nasional. Walaupun Olivia mau menunggu sampai sore datang, Mas Wahyu menolak.
Tugas-tugas yang harus dikerjakan masih banyak sehingga Mas Wahyu akan
mengerjakan di rumah temannya di dekat sekolah. Terpaksa, Olivia pulang
sendirian.
Tadi Nana berpesan, "Olivia, kamu cari tukang kaca
ya. Tanya-tanya dulu bisa tidak dia buatkan kita desain akuarium seperti
ini." Ya, untuk tugas ketrampilan mereka, Nana ingin kelompoknya membuat
akuarium dengan berbagai ukuran bentuk. Bukan sekedar akuarium berbentuk balok.
Tapi segi tiga, segi lima, segi enam, segi delapan, dan kubus yang bertumpuk.
Nantinya akurium-akurium tersebut juga mereka hias dan mereka isi ikan hias.
Tukang kaca, tukang
kaca, tukang kaca dimana. Olivia mendecakkan lidah. Tenggorokannya kering
sekali dan ia tidak tahu di mana tempat tukang kaca. Berjalan kaki menyusuri
kota, matanya memperhatikan apa saja di
kanan kiri jalan. Toko baju, warung bakso, tukas es degan, tukang tambal ban,
toko peralatan sekolah, warnet. Tapi tidak dengan tukang kaca. Tukang kaca, kamu terselip di mana.
Masjid raya menjulang dengan warna hijau dan emas, berkilau ditimpa terik
mentari. Pohon-pohon besar di halaman berlapis paving blocknya nampak
meneduhkan. Sebentar lagi ia akan menjumpai pasar.
Pasar di sini seperti pasar pada umumnya. Ramai dan
banyak sampah. "Bu, di dekat sini ada tukang kaca?" tanya Olivia pada
seorang pedagang tahu. Ibu itu tersenyum. "Kamu bukan orang sini,
ya?"
"Iya bu. Saya
pindahan."
"Tukang kaca jauh, nduk.
Jangan cari di pasar. Sana lho, dekat puskesmas. Kurang lebih lima kilo."
"Ada angkutannya,
bu?"
"Ada. Tapi yang jauh
itu masuk gangnya. Mending kamu naik sepeda."
"Wah, saya tidak punya
sepeda, bu."
Olivia menarik nafas dalam-dalam. Letak pasar dan
sekolahnya hampir dua kilo. Kalau dia berjalan lima kilo lagi, bisa habis
kakinya. Ia merasa sayang untuk membelanjakan uang. Meski haus dan ingin minum,
Olivia ingin memakainya nanti untuk membeli cemoe. Dan penjual cemoe baru buka
lapak jam enam sore.
Ia memutuskan berjalan ke masjid raya. Setidaknya bisa
duduk-duduk di sana, meluruskan kaki, dan beribadah. Waktu berjalan menyusuri
trotoar, ia medengar sebuah suara. "Oh, Olivia? Pindahan dari kota itu ya?
Yang bisanya cuma diam di kelas dan menunggu dimarahi Bu Retno?" Disambut
tawa cekikikan beberapa anak. Kalau saja orang yang membicarakannya pakai
bahasa Jawa, tentu Olivia tidak harus menghentikan langkahnya dan mencoba
menyimak kalimat selanjutnya. "Dia itu aneh ya? Kok tidak ada rasa percaya
dirinya sama sekali."
"Iya ya, kasihan tadi
hampir tidak dapat kelompok di pelajaran ketrampilan."
"Dia saja tidak mau
usaha mendapat teman sekelompok. Masak harus kita yang selalu mulai
menawari?"
"Dia itu manja, cari
perhatian."
"Anak pindahan begitu
semua ya?"
"Ah, di kelas 7-5 juga
ada anak pindahan dari Bali. Namanya Kadek Devi. Tapi dia bisa adaptasi.
Temannya banyak. Tidak pendiam seperti Olivia."
"Olivia itu kenapa ya
pindah ke sini?"
"Mungkin orang tuanya
pindha kerja."
Olivia menggigit bibir. Suara yang sambung menyambung,
entah ada berapa orang di dalam warung bakso itu. Mereka tidak bisa melihat
Olivia karena ia berdiri di balik pintu. Warung bakso kikil itu berdinding
bambu sederhana dengan meja dan kursi kayu. Kenapa
mereka tidak mengerti? Aku cuma pemalu. Aku butuh teman. Olivia lari
sekencang-kencangnya, tanpa menoleh.
Sebelumnya :
ehm... saia nih tokoh utamanya??? noted linda,,,, ntr dibaca pelan" yaaah...
BalasHapusiya mbak hehe.oiya baru sadar ini nama mbak ^_^ tenaaang mbak masih banyak waktu bua baca :D
BalasHapusnaaaaaah ini saia datang lagi :D xixixi... pemalu ya? cup cupppp... klo saia malah seneng di jawa, apalagi di kampung (pas KKN)... berasa artis *tampar >.< enak kokkkk, yang penting ramah aja dan sering senyum...
BalasHapususul linda... gimana kalo percakapan temen2nya dibikin bahasa jawa campur indo... terus si olivia itu nangkep2 juga maksud temen-temennya... biar berasa gitu suasana jawa nya. dan dibikin teks terjemahan untuk pembaca.
hahahahhaha bagusnya sih gitu
Hapus