Olivia [Bagian 5]


            Tiga bulan sekolah di sini. Baru sekarang Olivia benar-benar mengobrol dengan seorang teman tanpa embel-embel tugas sekolah. Teman sebangkunya, Nana, hampir seminggu tidak masuk sekolah karena sakit. Pagi ini ia masuk. Masih dengan wajah pucat dan sweater yang melapisi bagian luar seragam putih abunya.
            "Hai, Nana! Sudah sembuh?" sapa Olivia. Dalam hati ia harap-harap cemas, mencoba menebak respon Nana. Ia hampir tak pernah terlibat pembicaraan personal dengan teman-teman sekelasnya. Mereka sudah tahu Olivia yang lebih suka berdiam di kelas ketika jam istirahat dan selalu berada di barisan paling belakang saat upacaran bendera atau kegiatan olahraga. Namun mereka masih berbaik hati menyapanya setiap pagi atau membagi botol air minum bila melihat botol Olivia sudah kosong.

            "Hai, Olivia. Ya, sedikit. Sedikit lebih baik." Nana tersenyum lemah. "Kamu sakit apa?" Olivia mendekat. Nana anak yang baik hati. Ia sering menawari Olivia untuk membantunya menghabiskan bekal makan siang. Ia juga berulang kali membantu Olivia ketika diminta Bu Retno mengerjakan soal matematika di depan kelas. Olivia tidak memahami matematika seperti ia tidak memahami bahasa Jawa. "Gejala tipus. Aku kecapekan. Ibuku bilang, aku harus istirahat dari Paskibra." Olivia menganguk-angguk. Anak paskibra memang sibuk. Menurut Olivia, latihan fisik mereka sangat keras.
            "Selama aku tidak masuk, kamu duduk dengan siapa?" Nana balik bertanya. Olivia tersenyum malu, "Sendirian." Nana mendesah. "Kamu terlalu pemalu. Jangan takut mencari teman baru. Apa kamu tidak suka punya banyak teman di sini? Coba kamu bergabung, jangan terus-terusan menyendiri. Mereka semua baik, kok. Mereka tidak akan menertawakan kamu hanya karena kamu pakai bahasa Indonesia." Percakapan mereka terhenti melihat Bu Retno memasuki kelas. "Sudah mengerjakan pe-er?" bisik Nana. "Hah? Yang mana?" cicit Olivia. Nampaknya ada yang akan dihukum di depan kelas karena tidak mengerjakan pe-er hari ini.
***
            Sepulang sekolah, wajah Olivia tampak kusut. Bu Retno telah memarahinya habis-habisan. Hanya ia yang lupa mengerjakan pe-er. Selain itu, ia tidak membawa buku pelajaran. Waktu Bu Retno memeriksa, buku catatannya juga tidak lengkap. Kesalahannya menjadi komplet. Suasana hatinya semakin buruk ketika mengikuti mata pelajaran ketrampilan, hanya dia yang tidak punya kelompok. Karena kasihan, Nana mengajaknya bergabung. Mereka mendapat tugas dengan tema inovasi.
            Hari ini Mas Wahyu tidak bisa menemaninya pulang. Anak-anak kelas tiga akan mendapat materi tambahan demi menghadapi ujian nasional. Walaupun Olivia mau menunggu sampai sore datang, Mas Wahyu menolak. Tugas-tugas yang harus dikerjakan masih banyak sehingga Mas Wahyu akan mengerjakan di rumah temannya di dekat sekolah. Terpaksa, Olivia pulang sendirian.
            Tadi Nana berpesan, "Olivia, kamu cari tukang kaca ya. Tanya-tanya dulu bisa tidak dia buatkan kita desain akuarium seperti ini." Ya, untuk tugas ketrampilan mereka, Nana ingin kelompoknya membuat akuarium dengan berbagai ukuran bentuk. Bukan sekedar akuarium berbentuk balok. Tapi segi tiga, segi lima, segi enam, segi delapan, dan kubus yang bertumpuk. Nantinya akurium-akurium tersebut juga mereka hias dan mereka isi ikan hias.
            Tukang kaca, tukang kaca, tukang kaca dimana. Olivia mendecakkan lidah. Tenggorokannya kering sekali dan ia tidak tahu di mana tempat tukang kaca. Berjalan kaki menyusuri kota,  matanya memperhatikan apa saja di kanan kiri jalan. Toko baju, warung bakso, tukas es degan, tukang tambal ban, toko peralatan sekolah, warnet. Tapi tidak dengan tukang kaca. Tukang kaca, kamu terselip di mana. Masjid raya menjulang dengan warna hijau dan emas, berkilau ditimpa terik mentari. Pohon-pohon besar di halaman berlapis paving blocknya nampak meneduhkan. Sebentar lagi ia akan menjumpai pasar.
            Pasar di sini seperti pasar pada umumnya. Ramai dan banyak sampah. "Bu, di dekat sini ada tukang kaca?" tanya Olivia pada seorang pedagang tahu. Ibu itu tersenyum. "Kamu bukan orang sini, ya?"
"Iya bu. Saya pindahan."
"Tukang kaca jauh, nduk. Jangan cari di pasar. Sana lho, dekat puskesmas. Kurang lebih lima kilo."
"Ada angkutannya, bu?"
"Ada. Tapi yang jauh itu masuk gangnya. Mending kamu naik sepeda."
"Wah, saya tidak punya sepeda, bu."
            Olivia menarik nafas dalam-dalam. Letak pasar dan sekolahnya hampir dua kilo. Kalau dia berjalan lima kilo lagi, bisa habis kakinya. Ia merasa sayang untuk membelanjakan uang. Meski haus dan ingin minum, Olivia ingin memakainya nanti untuk membeli cemoe. Dan penjual cemoe baru buka lapak jam enam sore.
            Ia memutuskan berjalan ke masjid raya. Setidaknya bisa duduk-duduk di sana, meluruskan kaki, dan beribadah. Waktu berjalan menyusuri trotoar, ia medengar sebuah suara. "Oh, Olivia? Pindahan dari kota itu ya? Yang bisanya cuma diam di kelas dan menunggu dimarahi Bu Retno?" Disambut tawa cekikikan beberapa anak. Kalau saja orang yang membicarakannya pakai bahasa Jawa, tentu Olivia tidak harus menghentikan langkahnya dan mencoba menyimak kalimat selanjutnya. "Dia itu aneh ya? Kok tidak ada rasa percaya dirinya sama sekali."
"Iya ya, kasihan tadi hampir tidak dapat kelompok di pelajaran ketrampilan."
"Dia saja tidak mau usaha mendapat teman sekelompok. Masak harus kita yang selalu mulai menawari?"
"Dia itu manja, cari perhatian."
"Anak pindahan begitu semua ya?"
"Ah, di kelas 7-5 juga ada anak pindahan dari Bali. Namanya Kadek Devi. Tapi dia bisa adaptasi. Temannya banyak. Tidak pendiam seperti Olivia."
"Olivia itu kenapa ya pindah ke sini?"
"Mungkin orang tuanya pindha kerja."
            Olivia menggigit bibir. Suara yang sambung menyambung, entah ada berapa orang di dalam warung bakso itu. Mereka tidak bisa melihat Olivia karena ia berdiri di balik pintu. Warung bakso kikil itu berdinding bambu sederhana dengan meja dan kursi kayu. Kenapa mereka tidak mengerti? Aku cuma pemalu. Aku butuh teman. Olivia lari sekencang-kencangnya, tanpa menoleh.   

Sebelumnya :


4 Komentar

  1. ehm... saia nih tokoh utamanya??? noted linda,,,, ntr dibaca pelan" yaaah...

    BalasHapus
  2. iya mbak hehe.oiya baru sadar ini nama mbak ^_^ tenaaang mbak masih banyak waktu bua baca :D

    BalasHapus
  3. naaaaaah ini saia datang lagi :D xixixi... pemalu ya? cup cupppp... klo saia malah seneng di jawa, apalagi di kampung (pas KKN)... berasa artis *tampar >.< enak kokkkk, yang penting ramah aja dan sering senyum...

    usul linda... gimana kalo percakapan temen2nya dibikin bahasa jawa campur indo... terus si olivia itu nangkep2 juga maksud temen-temennya... biar berasa gitu suasana jawa nya. dan dibikin teks terjemahan untuk pembaca.

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama