Apa
dia orang yang tepat?
Kamu tidak akan pernah tahu itu
kecuali kamu sudah menjalaninya. Kamu telah mencobanya. Jadi, kamu harus berani
patah hati. Siap menerima segala risiko. Berjanji tiada merasa patah atau
menyerah. Karena begitulah hidup. Di satu titik kamu bahagia. Titik selanjutnya,
kamu nelangsa. Bukan hanya soal cinta. Tapi juga keluarga, karir, persahabatan,
keseharian, sampai masakan yang baru kamu pelajari resepnya. Kalau belum
apa-apa kamu menyerah, mana bisa kamu melihat hari esok yang lebih cerah?
Semoga
dia orang yang tepat.
Natasha tersenyum pahit. Kedua isi
kepalanya beradu. Satu bersikap sok bijak, menasehati diri dengan segala pembelajaran
yang berujung pada penguatan hati. Namun ia tahu, sangat manusiawi jika suatu
kali ia merasa terpuruk dan sepi. Kadang-kadang ia disapa hampa. Kali lain ia
begitu mencintai hidup karena terlalu bahagia. Yah, Natasha cuma perempuan usia
awal kepala dua yang mencoba memaknai cinta sebaik-baiknya.
“Mau
kemana, Sha?”
Ibu
menatap anak gadisnya yang telah beranjak dewasa tengah mematut diri di depan
kaca. Satu-satunya anak yang ia punya yang mendorongnya tak henti berdoa penuh
syukur atas sebuah karunia. Bahwa setelah belasan tahun menikah dan menahan
diri dari pertanyaan orang-orang yang entah bermaksud peduli atau menyebalkan,
kapan dari rahimnya tumbuh sebuah harapan. Kini harapan itu telah ranum dan
merekah laksana kembang. Meski satu-satunya di tengah padang, ia tetaplah
kembang. Wangi, indah, sekaligus membuat bibir tergerak untuk tersenyum.
“Ah
ibu. Sejak kapan di situ? Biasa, anak muda.”
Wajah
Natasha terlihat cerah sekaligus malu-malu. Ia menghampiri ibu bersama segaris
senyum dan sepasang pipi merona. Ibu selalu suka menatapnya begitu, disebutnya
sebagai ekspresi semanis madu. Sebab waktu ibu mengandungnya dulu, ibu suka
menambahkan madu pada apa-apa yang ditelannya. Mulai dari roti tawar gandum
yang remah-remahnya mengotori baju hingga menambahkannya dalam jus labu. Kalau perlu,
nasi yang ibu tanak pun diberi madu. Tak heran bila ibu melahirkan Natasha
yang... lihatlah sendiri agar tahu seperti apa rupanya.
“Memangnya,
cuma anak muda yang bisa jalan-jalan? Ibu juga!”
Natasha
memeluk pinggul ibunya. Mencium aroma tua dari tubuh seorang wanita. Aroma dimakan
usia. Yaitu rambut yang mulai berubah warna hingga kerut-kerut tipis yang
semakin jelas dilihat mata. Namun, bagi Natasha, wanita itu adalah pahlawannya.
Seorang yang akan muda selamanya karena menjadikan hidupnya berharga. Menjadi salah
satu tujuan hidupnya. Membahagiakannya. Membayar tahun-tahun penuh kepahitan
dalam hidupnya ketika masih anak-anak.
“Aku
berangkat dulu ya bu. Mau aku bawakan sesuatu?”
“Tidak
perlu, sayang. Nikmatilah malam ini. Nanti pulang cerita ya.”
“Siap
ibuku sayang!”
Maka
Natasha pergi, melangkahkan kaki, menghampiri seseorang yang semoga saja tepat
itu. Makan malam itu sempurna. Dengan cahaya lilin yang berpendar, masakan yang
enak, dan percakapan yang menyenangkan. Lelaki yang bisa menghibur atau punya
bakat sebagai penghibur akan selalu punya kesempatan baik dengan perempuan
manapun. Karena hanya sedikit sekali atau bahkan tidak ada perempuan yang tidak
suka dibuat tertawa.
“Menurutmu,
perempuan yang hebat itu seperti apa?”
“Itu
mudah. Perempuan sepertimu.”
Natasha
mencoba untuk tidak tersenyum. Ia bukan tidak suka atau menyangka dengan
jawaban itu. Namun ia takut mabuk lantas lupa diri. Lelaki bisa bicara apa saja
selama ada perempuan di depannya. Artinya ia bisa bicara apa saja pada
perempuan mana saja. Bisa jadi kata-kata yang ia lontarkan juga sama.
“Kalau
perempuan itu bekerja, bagaimana?”
“Selama
apa yang ia tinggalkan di rumah tetap diurus dengan baik, apa salahnya?”
Lagi-lagi
jawaban yang Natasha suka. Selama ini lelaki itu tak pernah mengecewakannya. Mungkin
ia tidak membawakan bunga atau selalu ada untuk Natasha. Namun ia memperlakukan
Natasha dengan sangat baik. Mendengarkan keluh kesahnya meski pagi segera
menjelang sementara itu masih hari kerja. Atau memberinya pengalaman
menyenangkan dengan mencoba berbagai restoran dan menyambangi tempat-tempat
indah. Hampir semua yang Natasha butuhkan ada dalam diri lelaki itu. Keyakinan Natasha
padanya pun mendekati lingkaran sesempurna rembulan.
“Nat,
aku sayang kamu.”
Kata-kata
itu sederhana. Kata-kata itu sempurna. Bagai mutiara di dasar samudera. Tak punya
cela. Tak bisa kurang atau lebih. Bunyinya bagai simfoni yang keluar dari
kedalaman sebuah hati lantas menelusup ke dalam hati lainnya. Manis. Hangat. Renyah.
“Nat?”
“Sst.”
Natasha
tidak ingin membicarakannya. Ia menyukai keheningan di antara mereka. Untuk pertama
kalinya seumur hidup, si gadis pemalu yang merasa tak pandai bicara itu tidak
merasakan canggung dalam diam. Justru keadaan tanpa kata-kata itu terasa
berharga.
Namun harusnya kau tahu, bila kau
terlalu bahagia, sedihmu akan lebih nyata.
Natasha
menggigit bibir ketika sebagian isi kepalanya mendengungkan kata-kata itu. Ia benci
mengakui bahwa sebagian isi kepalanya benar. Ia benci menyadari bahwa ia
terlalu mudah percaya dan tidak sempat lebih dalam mencerna. Kisah yang
sempurna itu tidak ada! Lelaki yang tanpa cela itu mustahil! Dongeng sebelum
tidur dengan kalimat pamungkas happily
ever after itu tidak nyata!
Padamu cinta, aku merana.
Lelaki,
entah mengucap cinta terlalu cepat, atau diulur-ulur hingga ia pikir sudah
terlambat, tetap bisa menyakiti bila sempat. Itu salahnya. Itu karena ia
memberi kesempatan untuk menjadi korban. Harusnya ia lebih berhati-hati. Cinta bukanlah
yang mudah, sesederhana apapun kata orang atau buku atau film mengatakannya.
Lelaki
itu mengucapkan kata-kata indah dan sempurnanya pada orang lain. Awalnya Natasha
tersenyum. Ayolah, itu hanya gejolak muda. Tidak perlu kecewa. Kau akan
menemukan yang lainnya. Meski tak akan pernah sama seperti yang kau punya
dengannya.
“Sayang,
ayo cerita pada ibu apa yang kamu rasakan.”
“Entahlah,
bu. Aku tidak ingin membicarakannya.”
“Jangan
dipendam sendirian.”
“Aku
pun tak rela menyimpan.”
“Ibu
tahu kamu sedih.”
Natasha
hanya diam. Bila ibu tahu, cukup baginya. Tak perlu cerita. Apa lagi yang harus
ia katakan? Bahwa ia menunda sekali lagi kesempatan mengenalkan seseorang yang
tepat pada ibunya? Ia sekali lagi melepaskan harapan kalau ibunya akan melihatnya
di pelaminan? Natasha tahu ibunya bisa menunggu. Natasha juga tahu ibunya tak
menyuruh buru-buru. Namun dorongan kuat dalam hatinya untuk menyenangkan hati
ibu sulit dibendung. Ia ingin memberi ibu seorang cucu. Mungkin bahkan dua atau
tiga cucu. Satu kali melahirkan juga tidak mengapa asal kembar. Ah, terlalu
jauh pemikirannya. Terlalu rumit isi kepalanya.
Natasha
ingat cerita orang-orang bagaimana ibu berjuang membesarkannya. Ibu tak terlalu
suka menjabarkan hal itu karena ibu tahu, kasih yang tulus itu tidak berkata
apa saja yang telah ia beri pada sumber cintanya. Kasih yang tulus hanya
menunjukkan, tidak untuk memamerkan. Menunjukkan maksudnya memberikan. Membanjiri.
Menumpahkan. Menyirami. Apa saja kosa kata yang dipunya.
“Ibumu
dulu mengubur mimpi-mimpinya agar ia bisa melihat perkembanganmu tiap hari,”
begitu cerita ayah sambil mengusap Natasha yang berada di pangkuannya. “Ibu
tidak peduli apa kata orang mengenai sia-sianya ijazah pendidikan tinggi yang
disimpan dalam lemari. Bagi ibu, kamulah yang terpenting. Asal ia melihatmu
cukup makan dan minum, cukup senang, cukup nyaman, dan berkecukupan dalam
hal-hal lainnya maka itu hadiah baginya. Ibumu benar-benar bersyukur
memilikimu. Dan ia tahu caranya mengungkapkan syukur itu. Dengan memberikan
seluruh hidupnya untukmu. Setelah itu, baru pada ayah.”
Sebab
ia tidak bisa mengganti cinta ibunya dengan harta dari seluruh penjuru dunia,
ia hanya mampu memberinya sumber cinta yang baru. Sebuah kehidupan. Dari rahimnya
sendiri. Sebagai penghiburan. Bagi masa tua ibunya. Sebagai penuntas kesepian. Agar
ada alasan ia tetap pulang. Yaitu mengantar seorang cucu.
Kau
tahu, meski dunia ini penuh dan terjadi ledakan penduduk, hampa pun
kadang-kadang menyapa. Hampa tidak hanya karena kau merasa jauh dari para
manusia. Juga setiap kau kehilangan satu tujuan dalam hidup dan tak tahu lagi
harus melangkah ke mana. Apalagi bila langkah-langkah yang kau lakukan hanya
demi menghabiskan waktu atau memiliki sesuatu untuk dikerjakan. Itu ironi
tetapi begitulah kehidupan.
Natasha
takut ia kehilangan tujuan hidup. Bila ia tak mencintai pria manapun, akan
sangat sepi dan kosong hatinya. Ia punya ibunya, temannya, pekerjaannya, dan
lainnya yang sebetulnya begitu memenuhi kepala hingga kadang membuat pusing. Namun
ia merasa tak punya seseorang yang benar-benar ada untuknya. Orang yang
menunggu satu hari penuh untuk melihatnya. Berada di sisinya dari malam hingga
pagi jelang. Sekedar diam atau bercakap hal-hal ringan.
“Kamu
masih muda, sayangku. Kamu punya banyak kesempatan yang menemukan yang baru.”
Ibu
mengelus puncak kepalanya lalu mengecupnya. Natasha ingin menjerit. Iya bu,
tapi sampai kapan? Lelah sekali rasanya memberikan hatimu untuk seseorang
lantas kau terpaksa melepasnya lagi. Hanya karena alasan-alasan yang tak mau
dan tak akan pernah bisa kau pahami. Bosan. Jatuh cinta pada orang lain. Tidak ada
kecocokan lagi. Menemukan yang lebih baik. Tidak yakin.
Kalau
kau bilang bosan, kau akan selalu bosan! Seluruh hidup ini membosankan! Pasti kau
pernah terbangun suatu hari, kan, dan tidak ingin melakukan apa yang biasanya
menjadi kesenanganmu? Kau bisa bosan pada nasi goreng, pada pekerjaanmu di
balik meja, pada hobimu membaca, pada apa saja. Dan Natasha merasa teriris tiap
berpikir kalau semua orang berpikir bosan lantas menyerah pada pasangan mereka.
Dunia akan sangat menyedihkan.
Jatuh
cinta pada orang lain yang baru kau temui atau datang dari masa yang telah kau
lewati mungkin sulit dihindari. Namun kau bisa memilih mendalaminya atau
kembali pada pasangan yang menunggumu dengan tangan terbuka. Jika kau terus
menuruti apa yang sekelebat lewat di hatimu, maka kau tak akan pernah punya
pasangan hingga mati. Sebab kau terus berganti orang yang kau cintai. Hingga akhirnya
kau tak punya kesempatan lagi mendaratkan perasaanmu.
Dengar,
kau tidak akan pernah cocok dengan makhluk ciptaan Tuhan manapun di seluruh
muka bumi karena kau diciptakan berbeda. Seluruh entitas di alam semesta ini punya
perbedaan. Bahkan anak kembar punya sesuatu yang tidak sama dalam diri mereka. Demi
Tuhan, masih adakah orang yang berkata ketidakcocokan untuk mengakhiri hubungan
padahal tidak ada yang namanya cocok?!
Teruslah
mencari hingga menemukan yang lebih baik. Pada dasarnya semua manusia itu baik.
Hanya saja hal baik itu bisa disikapi berbeda. Seorang koruptor pun menganggap
mencuri uang rakyat adalah hal baik agar bisa membelanjakan barang mewah untuk
istrinya. Segala hal seburuk apapun pasti punya satu titik kebaikan. Bahkan korupsi
mengajarkan anak-anak sekolah bahwa mengambil uang milik orang itu tidak baik
dan mendapatkannya dari bekerja dengan halal itu baik. Bukankah hal baik kita
ketahui karena ada hal buruk?
Seluruh
pikiran Natasha kacau. Ia terus meracau sendiri dalam kepalanya. Dan ibu masih
setia mengelusnya dengan lembut.
Sekarang
ia tahu. Ia pun salah. Tidak ada orang yang tepat. Karena tidak akan pernah
tepat. Apa sih artinya tepat? Ia hanya harus mencari. Menemukan lagi. Atau mungkin
menunggu. Terserah mana saja yang menurutnya baik. Namun ia pasti, dan akan....
jatuh cinta lagi.
***
Udah lama ga nulis cerpen sepanjang
ini :D