Bagaimana Cara Memilih Psikiater yang Tepat Untukku?

Kamu ingin berobat, tapi belum tahu harus pergi ke psikiater yang mana? Kamu mau tahu cara memilih psikiater yang tepat untukmu? Baca pengalamanku dalam memilih psikiater setelah berkonsultasi dengan enam psikiater yang berbeda.

Tunggu Dulu! Kenapa Harus ke Psikiater?

Aku yakin, masih banyak orang merasa tidak perlu berobat. Kamu mungkin berpikir kamu tak butuh psikiater karena

  • Masalahmu tidak serius
  • Kamu tidak berusaha bunuh diri
  • Kamu masih bisa makan dan tidur
  • Kamu masih beraktivitas
  • Menurutmu, ke psikiater hanya untuk orang gila yang telanjang dan lari-lari di jalan

Aku luruskan dulu ya. Kamu tidak perlu menunggu dalam kondisi ekstrem dulu baru berobat. 

Kalau kamu flu, apakah kamu akan berobat? Bagaimana jika sakit flu yang kamu kira simple itu adalah bronkitis? Atau, bagaimana jika flu yang menyiksa itu ternyata pneumonia?

Lucunya, aku mengalami keduanya hanya dalam jarak beberapa bulan. 

Kamu Perlu ke Psikiater, Jika…

  • Mood atau emosi berubah terlalu cepat
  • Sedih atau murung berkepanjangan tanpa alasan yang jelas
  • Terlalu sedikit tidur atau terlalu banyak tidur
  • Tubuh rasanya lelah dan lemah walau sudah tidur atau istirahat
  • Banyak berdebar
  • Sulit konsentrasi
  • Merasa cemas karena banyak hal baik itu rumah tangga, pekerjaan, pasangan, pertemanan, dan lain-lain
  • Sulit fokus
  • Sering lupa karena isi kepalamu terlalu penuh dan terlalu banyak hal yang mau dikeluarkan
  • Mulai menarik diri dari lingkungan dan hanya ingin sendirian
  • Asam lambung sering naik
  • Sering migrain
  • Bolak-balik ke dokter karena selalu sakit
  • Malas beraktivitas
  • Tidak ingin hidup
  • Dorongan menyakiti diri sendiri

Ke Psikiater atau Psikolog?

Beberapa orang yang aku kenal tidak siap pergi ke psikiater karena merasa kondisinya belum “parah”. Mereka lalu pergi ke psikolog. Lalu, apa bedanya kedua profesi ini?

Psikiater adalah seorang dokter jiwa. Ia bisa meresepkan obat, memberikan terapi, dan memberikan edukasi mengenai kondisi kita. Psikiater memahami bahwa kondisi kejiwaan kita juga berkaitan dengan keseimbangan cairan kimia di dalam otak. 

Sederhananya, kondisi kejiwaan kita mungkin bukan hanya karena jalan hidup yang berat atau lingkungan yang buruk. Mungkin kita memang terlahir dengan kecenderungan tersebut sehingga jatuh sakit.

Berbeda dengan psikiater, psikolog tidak bisa meresepkan obat. Psikolog fokus pada terapi dan evaluasi psikologis. 

Tentu, psikolog juga bisa melakukan asesmen. Contohnya, kamu pergi ke psikolog untuk tes IQ atau tes untuk mengetahui apakah kamu memiliki ADHD.

Aku sendiri sempat mengikuti serangkaian tes karena itu bagian dari asesmen psikiatri forensik. Asesmen ini melibatkan tim yang berisi empat psikiater dan satu psikolog.

Cara Memilih Psikiater yang Tepat

Lokasi

Cari psikiater yang terdekat dengan rumahmu. Kalaupun tidak dekat, lokasinya harus satu kota. Kalaupun tidak satu kota, maksimal kota tetangga. 

Jarak tempuhnya harus bisa kamu raih, baik naik kendaraan sendiri atau pakai kendaraan umum. Jadwalnya juga harus cocok dengan aktivitasmu. 

Karena pergi ke psikiater itu membutuhkan komitmen. Kamu perlu kontrol setiap bulan. Kalau jaraknya jauh atau susah dijangkau, kamu akan malas berobat. 

Jika kamu terlalu sibuk atau tidak bisa dapat cuti kantor, coba cek apakah dokter tersebut melayani telemedicine. Artinya, kamu bisa kontrol lewat Zoom.

Namun, umumnya obat tersebut tidak bisa dikirim pakai layanan pesan antar. Kamu harus ambil sendiri atau menguasakan seseorang untuk mengambil obat atas nama kamu.

Biaya

Apakah rumah sakit tempat doktermu praktik menerima BPJS atau asuransi? Jika bayar mandiri, berapa biaya per konsultasi plus biaya admin? Bagaimana dengan obat-obatannya?

Temanku bilang, tidak semua obatnya di-cover oleh BPJS. Sebenarnya mengenai obat dan harga ini bisa kamu konsultasikan dengan dokter. Kamu bisa saja minta obat yang semuanya di-cover BPJS, hanya generik saja. 

Aku bayar mandiri dan aku pun masih mendapatkan kebebasan memilih obat. Dokterku sangat sabar dan telaten menjelaskan pros and cons tiap opsi obat yang bisa kupilih.

Referensi

Karena aku pernah mendapatkan pelecehan oleh dokter jiwa yang menanganiku sejak 2023, aku jadi hati-hati. Ditambah lagi, aku menyadari bahwa beberapa rekannya membela beliau. Mengatakan bahwa beliau khilaf dan sebaiknya aku maafkan saja.

Saat ini aku berobat ke dr. Natalingrum Sukmarini, Sp.KJ(K), M.Kes. Aku berobat ke Dokter Natalingrum atas rekomendasi dari dr. Santi Yuliani, M.Sc.,Sp.KJ.

Awalnya, aku berobat ke Dokter Santi melalui telemedicine. Lalu beliau menyarankan aku pergi ke dokter yang ada di kotaku agar bisa diresepkan obat-obatan.

Kamu juga bisa mendapatkan referensi dari Google–walau belum tentu benar–keluarga, pasangan, teman, dan lain-lain. Sebenarnya coba-coba dulu juga tidak masalah. Kamu boleh berganti dokter sampai mendapatkan yang menurutmu cocok.

Gaya Dokter

Beberapa dokter hanya mampu melayani pasien selama 10 menit saja. Ia akan bertanya apa yang dirasakan pasien dan kondisi pasien saat ini (anamnesis). Kemudian ia akan memberikan obat. 

Sayangnya, gaya dokter yang seperti ini kurang cocok untukku. Aku lebih suka dokterku yang sekarang. Kami berdiskusi selama kurang lebih 30 menit. Bisa sampai satu jam, tapi kena charge tambahan.

Karena itu adalah bagian dari terapiku. Nanti akan aku jelaskan di bagian terpisah blog post ini ya. 

Inilah mengapa, mungkin dokter yang cocok untuk si A belum tentu cocok untuk si B. 

Terapi yang Aku Jalani dari Psikiater

Ada banyak terapi yang bisa diberikan oleh seorang psikiater kepada pasiennya. Aku menjelaskan terapi yang kujalani dari Dokter Natalingrum ya. 

Psikoterapi

Psikoterapi adalah terapi bicara. Bukan ngobrol tanpa arah, ya. Ini adalah pembicaraan yang terstruktur tentang perasaan, perilaku, dan pikiran pasien. Aku sendiri mendapatkan supportive psychotherapy. Bentuknya seperti ini

  • Aku diberi ruang aman untuk bercerita tanpa dihakimi
  • Dokter memberiku validasi dan dukungan untuk bersikap terbuka
  • Dokter mengajak pasien untuk berpikir realistis
  • Dokter memberikan edukasi mengenai penyakitku, obat yang kuminum, dan lain sebagainya

Kalau masih bingung, aku kutip definisinya ya. 

Definisi dari healthline.com, Supportive psychotherapy provides emotional support and psychoeducation, often focusing on validation and encouragement rather than deep exploration.

Artinya, psikoterapi suportif menyediakan dukungan emosional dan psikoedukasi, seringkali fokus pada validasi dan daripada eksplorasi mendalam

Jadi terapi ini fokus pada kondisiku saat ini. Tidak mengorek masa laluku, tidak menggali trauma mendalam, tapi memastikan aku mampu menjalani hari-hari.

“Loh, kamu kan daftar traumanya banyak?”

Pelan-pelan. Satu per satu. Hasil asesmen forensikku juga belum keluar kok. Aku sudah tahu rencana pengobatanku ke depannya akan bagaimana. Saat ini, supportive psychotherapy sudah sangat cukup.

Farmakoterapi

Farmakoterapi adalah terapi dengan pemberian obat-obatan dari seorang psikiater. Tujuannya adalah menstabilkan kondisi biologis pasien jiwa. Misalnya, kalau kamu sulit tidur, kamu diberi obat tidur.

Kamu sering merasa cemas hingga mata berkunang-kunang, jantung berdebar, bahkan pingsan? Kamu juga akan mendapatkan obatnya.

Tidak semua obat ini wajib diminum. Sama halnya seperti sakit fisik. Ada obat yang harus dihabiskan, ada yang tidak. Tergantung perkembangan kondisimu.

Biasanya, kalau kamu pertama kali berobat dan memiliki keinginan mati, dokter tidak langsung memberi resep untuk 1 bulan. Ini karena dokter takut kamu menyalahgunakan obat yang diberikan.

Kamu mungkin akan diberi obat untuk satu atau dua minggu dulu.

Kapan Kamu Harus Memilih Psikiater Baru?

  • Menghakimi atau merendahkan pasien
  • Menyuruh pasien bersabar dan beribadah, seakan pasien belum melakukan semua hal itu untuk menyelamatkan dirinya sendiri
  • Tidak memberi ruang bicara dan buru-buru menuliskan resep
  • Tidak menjelaskan tentang kenapa diresepkan obat tersebut, apa manfaatnya, bagaimana konsumsinya
  • Melanggar batas profesional dengan panggilan sayang, permintaan merekam, menghubungi pasien (harusnya admin rumah sakit), dan lain-lain
  • Membuat pasien takut bertanya
  • Fokus pada dirinya sendiri dan menceritakan dirinya, bukan membahas masalah pasien
  • Tidak transparan soal diagnosis dan rencana perawatan

Kesimpulan

Psikiater yang baik akan membuat kamu merasa didengarkan dan dipahami. Ia juga akan membantu kamu untuk mampu melalui hari-harimu. Ia harus transparan, karena kamu bukan kelinci percobaan. 

Kamu berhak mencari dokter baru, mencari second opinion, atau mempertanyakan terapi yang ia berikan. Dokter bukan dewa, posisinya dengan pasien tidak boleh seperti itu. 

Semoga, kamu segera mendapatkan psikiater yang tepat untukmu ya.


Komentar