shutterstock.com Kugenggam tangan Cal erat-erat. Kalau ia bukan manusia biasa, tulang-tulangnya pasti sudah berkeretak. Tangannya yang hangat terasa lembut dalam genggamanku yang dingin dan kaku serupa batu. Ya, kalau pacarku manusia biasa, darahnya akan membeku akibat sentuhanku. Namun Cal baik-baik saja, tetap normal suhu tubuhnya, meski angin dingin melingkupi kami akibat aku. Bila ada aku, sekitarku akan terasa lebih dingin dan sunyi. “Kita bisa. Aku yakin.” Suara Cal terdengar tidak yakin. Aku tidak berani menatap kedua bola matanya yang kureka mulai basah. Aku menebak itu dari suaranya yang sengau. Sepertinya ia sedang menguatkan diri untuk tidak mulai histeris dalam pelukanku. Ah, ia selalu menampilkan diri sebagai sosok tabah. Padahal tak ada salahnya mengakui dirimu lemah.