Postingan

Olivia [Bagian 6]

Gambar
            "Mein Name ist Miriam," Frau Artha mengucapkannya dengan lantang sembari menunjuk tulisan di papan tulis. "Mein Name ist Miriam," anak-anak di kelas 7-4 mengikuti ucapan Frau Artha. Namun seseorang tidak ikut memperhatikan. Ia terlihat menguap. Untuk mengusir kantuk, ia membuang pandang ke luar jendela. Dilihatnya lapangan sekolah. Anak-anak kelas tiga sedang berolahraga di sana. Di antara kumpulan anak-anak kelas tiga, ia bisa melihat sosok pacarnya, tengah merebut bola.             "Olivia!" Olivia tersentak dari lamunannya. Dilihatnya, Frau Artha berjalan mendekat. "Kamu tidak memperhatikan saya?" "Tidak, Frau. Saya memperhatikan, kok." "Tapi kamu tidak mengikuti apa yang saya lakukan." "Eh…" "Silakan keluar. Kamu bisa ikut pelajaran saya minggu depan." Olivia menelan ludah. Nana menatapnya dengan kasihan. Namun sebagian besar anak menatap dengan cara melecehkan. Sis...

Chocodot, Dari Cabe Sampai 4L4Y

Gambar
          Garut bukan cuma tentang domba dan dodol. Garut juga punya akar wangi dan jaket kulit. Garut tidak melulu soal batik. Ternyata, Garut punya ciri khas baru : coklat. berbagai varian coklat dari Chocodot           Kemarin, Minggu 29 Juli 2012 saya berkesempatan mengunjungi salah satu gerai Chocodot, sebuah merek coklat isi dodol khas Garut. Beberapa kali Chocodot tampil di televisi maupun majalah. Beberapa kali pula saya jatuh penasaran dan akhirnya bisa juga membeli produk-produknya.           Chocodot adalah merek coklat khas Garut dan salah satu produk andalannya adalah coklat isi dodol. Menurut salah satu pegawai di gerai Chocodot, coklat isi dodol ini bisa bertahan hingga enam bulan ke depan. Coklat dikemas dalam kotak berbagai ukuran. Ada pula yang berbentuk seperti praline . Bagi anda pecinta coklat, tentu anda akan tergiur dan meneteskan liur...

Olivia [Bagian 5]

Gambar
            Tiga bulan sekolah di sini. Baru sekarang Olivia benar-benar mengobrol dengan seorang teman tanpa embel-embel tugas sekolah. Teman sebangkunya, Nana, hampir seminggu tidak masuk sekolah karena sakit. Pagi ini ia masuk. Masih dengan wajah pucat dan sweater yang melapisi bagian luar seragam putih abunya.             "Hai, Nana! Sudah sembuh?" sapa Olivia. Dalam hati ia harap-harap cemas, mencoba menebak respon Nana. Ia hampir tak pernah terlibat pembicaraan personal dengan teman-teman sekelasnya. Mereka sudah tahu Olivia yang lebih suka berdiam di kelas ketika jam istirahat dan selalu berada di barisan paling belakang saat upacaran bendera atau kegiatan olahraga. Namun mereka masih berbaik hati menyapanya setiap pagi atau membagi botol air minum bila melihat botol Olivia sudah kosong.

Memang Kenapa Kalau Self Publishing?

Gambar
blogupnorth.wordpress.com             "Seharusnya pasar hanya untuk para profesional," begitu kira-kira kalimat yang saya dengar sekilas dalam sebuah sinetron pendek yang menjamur di bulan Ramadhan. Tokoh dalam sinteron tersebut tengah membandingkan antara penerbit major dengan self publishing . Saya bukan penyuka sinetron. Acara-acara khas bulan Ramadhan pun hampir-hampir tidak saya tonton. Selain saya kurang paham lawakan yang berseliweran―kebanyakan selama bulan Ramadhan, program televisi didominasi lawak―kalaupun paham saya juga jarang tertawa. Rasanya kurang lucu. Tapi, saat sahur tadi, saya tersentak mendengar potongan percakapan di sebuah sinetron. Lho, kok bawa-bawa penerbitan?             Menurut percakapan tiga orang tokoh dalam sinetron tersebut, pasar hanya untuk penulis yang profesional. Sementara, penulis pemula yang belum mumpuni kemampuannya, sebaiknya melatih diri dulu d...

Lari Menuju Cahaya

Gambar
            "San, aku akan menikah." Ciara berbisik di sampingku. "Dengan siapa?" suaraku terdengar sangat kecil. Bagai bicara di ujung lorong yang panjangnya berkilo-kilometer jauhnya dari tempat Ciara duduk. "Dengan Farid. Papa yang menerima lamaran dari keluarga Farid. Dua bulan lalu. Sebelum aku pulang ke sini." Seperti orang bodoh, aku bertanya, "Aku bagaimana, Ciara? Siapa yang akan menjadi istriku?" Ciara bergumam tak jelas. Mungkin aku yang tak bisa mendengar. Sama saja.             Aku selalu tahu itu. Aku tak akan pernah bisa menikahinya. Bahkan tidak dalam mimpi. Seakan takdir dan pertanda memusuhiku. Jodoh melarikan diri dariku. Ketika pertama dan kukira terakhir kalinya aku benar-benar jatuh hati, Ciara diambilnya juga. Diambil oleh keberuntungan yang enggan kuhampiri.

Olivia [Bagian 4]

Gambar
            "Kamu anak kelas satu yang dari kota itu, ya?" Olivia mendongak dari buku yang ia baca. Mengganggu . Di dekatnya berdiri seorang anak lelaki, dengan bola sepak di tangan kiri. "Iya. Kenapa?" "Tidak ada apa-apa." Lelaki itu berlalu. Olivia mengerutkan kening . Dasar aneh. Memangnya kenapa kalau aku dari kota? Masalah buat dia? Olivia ingat, beberapa kali ia merasa ada yang melihatnya dengan sinis. Mungkin laki-laki itu orangnya. Olivia kembali melanjutkan membaca buku. Ia tengah menunggu Mas Wahyu pulang. Mereka akan bermain ke kota kecamatan.             Sebagai anak kelas satu, Olivia menjalani nasib yang sama dengan anak-anak kelas satu lainnya. Masih menjaga sikap sebaik mungkin. Berusaha tidak membuat kesalahan atau terlihat mencolok. Bersua dengan kakak kelas pun masih segan. Rasa sungkan tumbuh, merasa diri anak bawang. Hanya satu dua yang benar-benar merebut perhatian....

Olivia [Bagian 3]

Gambar
            Hujan. Hujan sepagi ini. Alam yang muram. Mendukung kelam dan mendung dalam kamar Olivia. Berbagai memori tentang mama dan papanya berkelebatan bagai video yang dipercepat. Apa, bagaimana, mengapa, dan kenapa terus bergulir dalam kepalanya. Menghantuinya. Membuatnya berguling tak tentu di atas ranjang. Ah, konyol. Dia tak tahu apa-apa. Padahal dia anak mereka. Anak mama papanya. Mengapa dia mesti tidak tahu? Kenapa dia jadi pihak yang buta keadaan? Di mana letak masalahnya?             Selama ini kedua orangtuanya nampak baik-baik saja. Walaupun kedua orang tuanya bekerja, Olivia tidak merasa kesepian. Dia punya banyak teman yang bisa menemani kekosongannya. Meski menyakitkan di perayaan hari ibu waktu sekolah dasar dulu mamanya tak pernah hadir. Meski menyedihkan di hari ia menjuarai lomba lari dulu papanya tidak melihatnya menerima piala di panggung. Tapi itu cuma masalah kecil...

Absen! Absen!

Gambar
            Hai semua! Lama saya tidak menulis di blog ini *uhuk* dan baru dini hari tadi saya membuat tulisan baru. Ya, ya, saya kurang produktif kan? Oke, saya tidak berusaha membela diri. Sekedar info, saya tengah menjalani liburan yang tenang dan damai bersama keluarga di rumah. Perkuliahan akan dimulai bulan September mendatang. Masih banyak waktu bersantai kah?             Oh, ternyata tidak! Saya mungkin jarang menulis fiksi dan memublikasikannya di blog. Tapi, jangan salah. Saya tetap menulis kok. Justru saya sedang mengumpulkan tulisan. Bukan cuma saya tapi juga beberapa teman saya yang lain. Kami ingin membuat kumcer ^_^ Tenang, tenang. Saya tengah berlatih memperlancar motorik untuk menulis yang manis-manis. Nantinya, dalam kumcer ini, kami akan menyajikan fiksi seputar cinta. Bukan cinta biasa. Tapi cinta yang beragam rupa. Cinta muda. Cinta yang segar. Cinta yang memiliki putara...

Silviana, Fakir Ekpresi yang Terus Berekspresi

Gambar
backgroundnya unyu, gambar pithik :D             Entah kenapa, setiap menemukan orang seumuran saya yang suka menulis, saya pasti senang. Mungkin malah kelewat senang. Orang suka nulis itu banyaaak. Tapi kalo yang seumuran? Nah, saya lebih tertarik dengan yang seumuran. Apalagi kalau semangat nulisnya tinggi dan dia bagi lewat blog. Itu namanya kemurahan hati kepada orang lain untuk mendapatkan bacaan secara gratis :D

Olivia [Bagian 2]

Gambar
            Kemarin, sepulang sekolah, Mas Wahyu mengajak Olivia ke pasar malam. Ini pertanda apa? Rasanya sungguh cepat. Baru saling mengenal tpai Mas Wahyu sudah mengajaknya jalan-jalan. Malam minggu pula. Mungkin Olivia terlalu percaya diri dengan mengira Mas Wahyu menaruh rasa yang sama. Tapi boleh kan? Tidak ada salahnya kan? Toh Mas Wahyu memang bersikap amat manis. Ya, sedikit terlalu manis. Tak masalah. Olivia menyukainya. Segala hal kecil yang dilakukan Mas Wahyu. Mulai dari memboncengnya setiap berangkat dan pulang sekolah. Sampai menemaninya mengerjakan tugas di perpustakaan. Semua dilakukan Mas Wahyu dengan inisiatif dan senyuman. Ah, siapa perempuan yang tak senang?             "Eyang, Olivia nanti malam pergi ke pasar malam, boleh ya?" Eyang mendongak. Melalui kaca mata bacanya, eyang mencoba membaca raut muka Olivia. "Sama siapa?" Eh, duh, Olivia harus bilang apa? Jujur saja? ...

Olivia [Bagian 1]

Gambar
             Mati aku . Olivia menghembuskan nafas keras-keras. Ia menengok jam tangan. Pukul empat sore. Angkutan umum terakhir yang menuju dusunnya sudah berangkat sejak pukul tiga. Kini ia tak punya tumpangan untuk pulang. Tubuhnya sudah kelelahan. Ia berjongkok di trotoar depan sekolah, menggores sebatang lidi pada tanah yang berpasir. Mengorek-ngorek, membunuh sepi. Tidak bisa pulang, batinnya kelu. Jarak sekolah dengan dusunnya hampir sepuluh kilometer. Berupa jalan lurus yang di kanan kirinya adalah hamparan sawah dan ladang. Sedikit pepohonan untuk menyejukkan kulitnya yang terus berpeluh akibat ejekan mentari.             Di kota kecil ini, angkutan umum sulit didapat. Selain angkutan umum, ada kalanya ia naik becak atau mobil bak. Tapi mobil bak cuma mengangkut pedagang dan dagangannya dari pasar. Dan letak pasar juga tak kalah jauh dengan sekolahnya. Becak? Ah tak mungkin. Ia tida...

Bahtera

Gambar
nasyidterpilih.blogspot.com Aku tak mencoba menjadi penyelamat atau pahwalan bagi sesiapa Termasuk engkau Aku bukan mercusuar bagi orangorang yang kehilangan arah atau bimbang mencapai tempat tujuan Mungkin sebagian menganggapku sebagai pemecah gelombang yang menghantarkan mereka ke daratan (aman) Sebagian lainnya beranggapan bahwa aku pelampung yang mengizinkan mereka mengambang tanpa takut tenggelam Aku adalah aku Separuh lemah, separuh kalah Separuh tangguh, separuh teguh Tugasku menjadi bahtera Tidak mengemudi atau mendaki Cukup menunjukkan pilihan Ke tempat yang kupilih sendiri Dan memasukkan mereka ke dalam dekapan menuju kedamaian dan kehangatan Meski aku tak berjanji Kemana sampai Kemana berpulang

Cinta di Sebuah Senja

Gambar
Judul               :           Senja di Chao Phraya Penulis             :           Endah Raharjo Tebal               :           324 halaman Cetakan           :           Pertama, Juni 2012 Penerbit           :           Leutikaprio leutikaprio.com             Novel yang mengangkat teman cinta sudah banyak pasaran. Apalagi yang diguncang isu perbedaan. Entah kewarganegara...

Drama Keluarga di Tangan Jodi Picoult

Gambar
Judul               :           Vanishing Acts. Hati yang Hilang. Penulis             :           Jodi Picoult Penerjemah      :           Gita Yuliana K. Tebal               :           528 halaman Cetakan           :           Pertama, November 2008 Penerbit           :           PT Gramedia Pustaka Utama resensinovel.blogspot.com    ...

Libur Telah Tibaaaaaaa :D

Gambar
pakaliaja.blogspot.com              Akhirnya libur datang juga! Setelah menjalani satu semester yang menyenangkan bersama teman-teman yang juga menyenangkan, saya harus melambaikan tangan untuk dua bulan ke depan. Masing-masing dari kami akan berpencar dan menikmati masa rehat yang panjang sebelum kembali disibukkan dengan segudang tugas kuliah . Apalagi domisili kami berbeda-beda membuat kami tak punya kesempatan liburan bersama. Oh ya, mereka yang saya maksud adalah Amel , Riri , Fitri , Nidia , dan Dini .

Perempuan Bernama Annisa

Gambar
            Annisa cuma perempuan biasa. Perempuan yang diajari hidup untuk mematuhi. Bahwa hidup sudah ditakdirkan dan selayaknya takdir itu dijalani sebaik-baiknya. Takdir sebagai perempuan yang harus lembut dan anggun. Perempuan itu secanggih apapun sosoknya tetaplah menjadi ibu maupun istri. Dapur adalah tempat kembali. Perempuan diciptakan untuk peka dan perasa. Perempuan yang dipimpin kaum lelaki. Begitulah kira-kira kumpulan opini yang disematkan dalam pikiran Annisa sejak belia. Atau, cuma itulah yang ia pahami benar tentang identitas keperempuanannya.

Nisan-Nisan dalam Doa Kusno

            Di antara bunyi gemuruh petir dan derasnya hujan, Kusno melantunkan doa dengan khidmat. Sesekali ia sesenggukan. Perhatiannya tak lepas dari wajah polos putra semata wayangnya, Fadhil. Permintaanya tidak muluk-muluk. Kusno tidak pernah berharap memiliki sawah lima hektar, rumah gedong, atau mobil mewah. Kusno cuma meminta rezeki yang cukup untuk anak istrinya. Asal bisa makan dan bisa sekolah. Asal tunggakan rumah kontrakan lunas. Asal cicilan baju pada tukang bendring itu juga tidak menghantuinya.

Perempuan Nomor Dua

            Dia muntah-muntah lagi. Bergegas aku menyambar baskom yang selalu kusimpan di bawah ranjang tuanya. "Hoek! Hoek!" Di sela-sela muntah, ia mengerang. Mungkin tenggorokannya sakit. Ia pernah bilang, setiap kali muntah, ia merasa tenggorokannya terbakar. Kuelus-elus punggungnya demi memberi dukungan. Ia menepis tangaku. Masih saja perempuan ini bersikap angkuh seakan tak membutuhkanku. "Hoek!" Kali ini muntahannya bercampur darah. Aku menatapnya dengan khawatir. Namun ia menarik dengan kasar lap yang kubawa. Setelah membersihkan mulutnya, ia kembali membujurkan badan dengan kaku. Bahasa tubuhnya menunjukkan ia menolak berinteraksi lebih jauh denganku. Tidak dengan tatapan, pembicaraan, atau sentuhan.

no title

Gambar
erywijaya.wordpress.com             Terbengong-bengong kumendengar ceritanya. Mengajukan beasiswa ke Jepang? Akan berangkat meninggalkan Indonesia tiga bulan lagi? Meninggalkanku? Seluruh pertanyaan itu berkecamuk. Berputar-putar dalam kepalaku dan menyesakkan dadaku. "Kau serius?" tanyaku. Kau tersenyum sembari mengangguk takzim. "Bagaimana? Kau mendukungku tidak?" tanyamu dengan bersemangat. "Kau tahu aku temanmu. Aku ikut senang bila kau senang. Aku pasti mendukungmu. Aku pendukung terbaikmu! Keberhasilanmu adalah rasa syukurku." Medengar jawabanku, senyummu makin lebar. "Terima kasih, Anna," katamu sebelum membiarkanku tertegun dengan ucapanku sendiri.

Pada Tuhanku

Lidahku terkalang Kelu Hatiku terganjal Abu                                     Tuhanku, dimana-mana kupinta                                     Agar tidak lepas asa                                     Sebab dadaku gagal menampung                                     Goyah dan rapuh...